ProSumbawa Oleh: Iwan Febriyanto Vegan
I am glad I shall never be young without wild country to be young in. Of what avail are forty freedom, without a blank spot on the map?
Aldo Leopold, Return of the Wild
Ekstraksi Sumberdaya Alam Tak Terbarukan
Seluruh masyarakat modern saat ini sangat tergantung pada ekstraksi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya alam yang tak terbaharukan (unrenewable resources) seperti minyak dan gas atau pertambangan batu bara dan mineral. Demikian pula ekstraksi terhadap sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) seperti hasil hutan yakni kayu dan sumberdaya perikanan laut seperti ikan.
Dalam satu abad terakhir ini dapat kita saksikan energi dunia di ekploitasi secara mengenaskan seperti minyak, gas dan batu bara. Hal ini disebabkan karena meningkatnya permintaan atau konsumsi energi global khusunya Bahan Bakar Minyak. Selain itu pencarian sumber dan ladang minyak baru ditingkatkan untuk terus menjaga jumlah cadangan tersedia BBM global. 90 % ketergantungan energi dunia masih pada energy fosil fuel yang terus terancam berkurang dan habis. Faktanya memang hampir seluruh bagian dari kegiatan kita sangat tergantung pada energi, khususnya energi yang bersumber dari bahan bakar minyak.
Demikian pula peralatan yang ada disekeliling kita sebagian besar berasal dari kegiatan pertambangan seperti peralatan rumah tangga, mobil, mesin dan material untuk pembangunan multy storey building. Termasuk didalamnya bahan-bahan metal, kayu atau derivasi kegiatan petrokimia semacam plastik dan bahan-bahan sintetik. Kita membutuhkan kertas yang berasal dari bubur kayu yang diolah agar kita dapat menulis untuk keperluan ATK dan mencetak di komputer. Konstata inilah yang menjadi dasar praktek kapitalisme, dimana korporasi sebagai inangnya.
Fakta yang berbeda dengan ekstraksi sumberdaya terbarukan (renewable resources) seperti hasil hutan seperti kayu, sumberdaya pesisir dan kelautan seperti ikan dan hasil laut lainnya. Namun, sayangnya karena cara-cara yang dilakukan manusia dan pemodal besar tidak memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, maka sumber daya hutan dan perikanan laut juga mengalami ancaman. Situasi ini sangat merisaukan karena memiliki potensi mengancam keseimbangan antara suplly-demand hasil ikan dan kesenjangan distribusi nutrisi dan protein produk hasil laut, dimana negara kaya mengonsumsi lebih dari 70% hasil laut khususnya hasil perikanan.
Dalam 30 tahun pemerintahan orde baru di Indonesia lebih dari 1 juta ha hutan kita mengalami penggundulan, hanya sepertiga yang ditanami kembali melalui reboisasi dengan jenis pohon yang berbeda. Jika pola ini terus dibiarkan maka diperkirakan 20 tahun kedepan hutan Indonesia akan mengalami penggurunan (deforestation). Situasi ini akan memicu bencana lain seperti ketersediaan sumberdaya air, perubahan iklim dan cuaca hingga konflik sosial dan amuk massa.
Sejumlah negara di dunia saat ini sangat tergantung pada industri ekstraktif, beberapa diantaranya seperti Indonesia karena lemahnya sistem hukum dan proses penegakan hukum dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang salah maka terjadi praktek menguras habis, menjual dengan harga murah, jual cepat sumberdaya kayu (logging) dari hutan dan pertambangan (mining). Demikian pula halnya hasil tangkapan ikan semakin menurun dalam 30 tahun terakhir ini walaupun armada pukat harimau semakin bertambah. Karena itu kebijakan melawan illegal fishing sangat dinantikan sebab kondisi sangat merisaukan tingkat pencurian ikan dilaut NKRI oleh kapal asing.
Pertambangan mineral emas, tembaga dan perak di bumi Papua adalah salah satu kegiatan big mining bussiness yang paling merisaukan. Ekstraksi tambang Freeport Mc.Moran di Papua telah berlangsung 50 tahun dan masih terus diperpanjang 30 tahun lagi. Ancaman yang sama dihadapi masyarakat Sumbawa berhadapan dengan PT Newmont Nusa Tenggara di kabupaten Sumbawa barat. Sebagai respon atas kritik tata kelola tambang dan sumberdaya alam yang tidak berkeadilan dan tidak berkelanjutan, tidak ramah lingkungan menguat gagasan untuk membangun pabrik smelter dan refinery hasil penambangan emas dan mineral.
Pertanyaan mendasar kini adalah apakah pilihan pada ekstraksi sumberdaya alam tambang emas ini merupakan pilihan sadar dari masyarakat atau hanya kepentingan dan keuntungan para komprador emas? Apa yang diperoleh masyarakat atas ekstraksi ini? Berapa besar manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat suku Amungme di Komoro atau suku Asmat, suku Dhani, suku Samawa di Sumbawa, orang Taliang di kabupaten Sumbawa barat dan suku-suku lainnya? Jika ekstraksi ini bukan pilihan mereka, mengapa kontrak karya ini diteruskan? Ini pertanyaan mendasar dan penting untuk menjawab, apakah kita saat ini sedang mengambil pilihan bagaimana mengarahkan masyarakat kita menuju kegagalan atau keberhasilan?
Menarik untuk menyimak pendapat Jared Diamond seorang geologist mengenai sumberdaya extractive berikut ini “Coal mining is superficially even more similar to hardrock mining than is the oil industry, in that its operation inevitably create heavy environmental impacts. Coal mins tend to make even bigger messes than do hardrock mines, becouse the quantity of coal extracted per year is relatively enormous: more than triple the combined mass of all the metals extracted from hardrock mines.Thus, coal mines usually disturb more area, and i some cases the strip the soil down to bedrock and and dump mountain tops in rivers……………………..”.
Ekstraksi Minyak dan Gas
Ekstraksi minyak telah berlangsung lebih dari 2 abad, namun peningkatan konsumsi minyak global pasca perang dunia kedua telah memicu pencarian dan eksploitasi besar-besaran berbagai sumur minyak diberbagai belahan dunia, khususnya kawasan Timur tengah (middle east countries). Amerika Serikat merupakan negara paling konsumtif teri total konsumsi minyak global yakni sekitar 20% secara agregat dalam 7 dekade terakhir ini.Tingginya kebutuhan minyak Amerika Serikat dipicu oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan industri. Selain itu tumbuhnya industri otomotif dunia secara serentak mendorong permintaan minyak untuk transportasi bersamaan dengan tumbuhnya ribuan kota-kota baru di seluruh dunia dalam setengah abad terakhir ini.
Beberapa negara penghasil minyak memang memperoeh keberuntungan atas meningkatnya permintaan minyak dunia, namun karena sifat industri satu ini yang monopolistik dimana produksi minyak dunia secara faktual dikuasai oleh 5 raksasa perusahaan minyak dunia diantaranya Exxon Mobil, Chevron, Shell and Philip, British Petroleum dan Gabungan beberapa perusahaan Gazprom, perusahaan Minyak milik Rusia, kemudian menyusul CNOOC China bersama Cina Petroleum.
Baca Juga Khawatir Virus Corona, CPMI Asal Sumbawa Minta Dipulangkan
Dalam prakteknya beberapa peusahaan minyak nasional seperti Aramco, pada dasarnya sebuah perusahaan partnership antara perusahaan minyak nasional Arab dengan perusahaan swasta Amerika Serikat. Artinya teknologi dan investasi dikuasai oleh perusahaan Amerika serikat,csedangkan Arab Saudi hanya memiliki ladang minyak dan kekuasaan atas teritorial.
Terbatasnya tenaga ahli dibidang perminyakan dunia membuat saling ketergantungan antara pemerintah negara-negara penghasil minyak dengan para tenaga ahli asing. Selain itu terbatasnya kemampuan penguasaan teknologi dan rendahnya tingkat investasi pemerintah negara-negara penghasil minyak mengakibatkan pengelolaan minyak diserahkan pada perusahaan minyak asing melalui suatu kontrak yang cenderung merugikan pemerintah dan kekayaan negara penghasil minyak.
Berikut ini disajikan data proyeksi dan kondisi saat ini produksi minyak dunia, dihadapkna dengan cadanan yang semakin menipis, seingga semakin mengancam keamanan global. Sebuah tragedi perang demi minyak telah kita saksikan dalam sejarah seperti Perang Iran-Irak (1978-1988), Perang Afghanistan-Rusia (1978-1989), Perang Irak – Amerika Serikat (1999), Perang Irak – Amerika Serikat + Sekutu (2003 – sekarang), Perang Afghansitan/ Thaliban – Amerika Serikat + sekutu (1999 – sekarang).
PRODUKSI DAN CADANGAN MINYAK DI TELUK PERSIA DAN KAWASAN LAIN 2002 – 2025
Data berdasarkan negara dan wilayah, akhir tahun 2002 (bb) mengenai Persentase total dunia Produksi aktual 2002 (mbd), Persentase total dunia Perkiraan Kapasitas Produksi 2025 (mbd) dan Persentase total dunia
Iran 89.7 8.6 3.37 4.6 4.9 3.9
Iraq 112.5 10.7 2.03 2.7 5.2 4.2
Kuwait 96.5 9.2 1.87 2.5 5.1 4.1
Oman 5.5 0.5 0.90 1.2. n.a n.a
Qatar 15.2 1.5 0.76 1.0 0.8 0.6
Saudi Arabia 261.8 25.0 8.68 11.7 23.8 19.1
Uni Emirat Arab 97.8 9.3 2.27 3.1 5.4 4.3
Total Teluk Persia 679.0 64.8 19.88 26.9 45.2* 36.3*
Amerika Serikat 30.4 2.9 7.70 10.4 9.4 7.6
Kanada dan Mexico 19.5 1.9 6.44 8.7 8.9 7.1
Negara Laut Utara 16.3 1.6 6.16 8.3 4.5 3.6
Negara Bekas Uni Soviyet 77.1 7.4 9.35 12.6 15.9 12.8
Afrika 77.4 7.4 7.94 10.7 16.2 13.0
Asia 38.7 3.7 7.99 10.8 7.5 6.0
Amerika Tengah, Selatan 98.6 9.4 6.65 9.0 12.3 9.9
Rest of World 10.7 1.0 1.83 2.5 4.6 3.7
Total Dunia 1047.7 100.0 73.94 100.0 113.5 100.0
Sumber: Untuk Data 2002, BP, Statistical Review of World Energy 2003 (London, BP, Juni 2003), pp.4,6,9 untuk data 2025, Departemen Informasi dan Administrasi Energi Amerika Serikat (DoE/EIA) International Energy Outlook 2003 (Washington D.C DoE/EIA 2003) lihat Juga buku Blood and Oil, Michael Klare. Abbreviaion : bbl=billion barrels, mbd= million barrels per day
Kontroversi Environmentalist
Karakter dasar kapitalisme, kebanyakan ekstraksi sumberdaya alam dilakukan oleh pengusaha dan korporasi yang memiliki modal besar. Korporasi ini bagaikan gutita raksasa yang menguasai secara keseluruhan industri misalnya penguasaan terhadap minyak dan gas sekaligus menguasai sektor retail dan pertambangan. Mereka juga menguasai pasar produk derivatifnya seperti sabun, oli hingga produk kosmetik dan kesehatan global. Kontroversi yang paling kuat datang dari para aktivis lingkungan dan environmentalist. Pada tataran global maupun nasional tendensi pertentangan ini menjadi permusuhan. Kaum environmentalist menuduh bahwa para pemilik modal besar (big mining bussiness) jelas-jelas melakukan pengrusakan sumberdaya alam, pada tingkatan tertentu sudah termasuk pemusnahan sumberdaya alam dan lingkungan (ecocide).
Ketika kaum pemodal memperoleh keuntungan besar dari ekstraksi sumber daya tambang emas dan perak ini pada saat yang sama masyarakat disekitar tambang hidup miskin dan menderita. Sumber kelangsungan hidupnya terganggu oleh pencemaran dan pembuangan limbah seperti tailing dan perubahan iklim mikro. Ilmuwan sekelas Joseph Stiglizt [1] pernah mengkritik keras ketidakadilan dalam pengeolaan sumber daya alam minyak, gas dan pertambangan di negara-negara berkembang yang hidup miskin dan berpendapatan rendah. Kritik lebih keras juga dating dari Richard Auty melalui Tesisnya yang berjudul “Resources Curses” The Plenty of Paradox [2].
Sebaliknya perusahaan tambang dan pemilik modal selalu berdalih bahwa mereka terikat kontrak dengan pemerintah dan pemegang saham. Selain itu mereka mengklaim telah menyumbang melalui pajak, penciptaan lapangan kerja dan pembagian laba kepada negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan APBD. Kontroversi dan perbedaan inilah yang melahirkan dikotomi sikap dan kepentingan yakni kelompok pro-tambang dan kelompok anti tambang. Sebagai jalan tengah seharusnya juga diperkuat suara kelompok “pro-tambang berkeadilan, pro-tambang ramah lingkungan”.
Kelompok pro-tambang terdiri dari para pengusaha pelaku tambang, para professional dan pakar yang bekerja atau dibayar oleh pemodal sektor pertambangan, pemerintah pusat dan daerah, kaum akademisi yang difasilitasi dan dibiayai oleh perusahaan tambang. Sedangkan kelompok anti tambang meliputi aktivis gerakan lingkungan, aktivis hak azasi manusia, pengamat pertambangan, kelompok dan jaringan advokasi tambangan dan jaringan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian pada masalah pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Sikap dan argumentasi penulis adalah sepanjang kebijakan dan praktek bisnis pertambangan dilakukan secara transparan, berkeadilan, memenuhi akuntabilitas dan audit lingkungan serta dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak Sosial (AMDAS) dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat, maka peran dan kegiatan sektor pertambangan dapat diterima sebagai sesuatu hal yang penting baik secara ekonomi maupun untuk pemenuhan kebutuhan energi dunia dan domistik serta kaitan dengan pengembangan teknologi.
Dalam banyak kasus faktanya memang konflik kepentingan acap kali terjadi, beberapa kasus akhirnya diselesaikan melalui proses peradilan. Ketika analisis global dan data lapangan menyarankan adanya kondisi rawan (vulnerability) disuatu kawasan, maka kegiatan pertambangan skala besar justru akan memicu bencana dan percepatan pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Contoh lain seperti dijelaskan pada bagian utama artikel ini dalam kasus lumpur Lapindo Brantas adalah kemungkinan kelalaian dan kesalahan pengeboran oleh Medici Citra Nusa sebuah perusahaan afiliasi PT. Lapindo Brantas, Santos Co. dan Medco Energy Co. di Sidoarjo.
Baca Juga Empat Dosen UTS Boyong Hibah Nasional dan Internasional
Secara geografis kawasan Sidoarjo sudah dapat dikategorikan dalam kondisi rawan (vulnerable) secara ekologi dan ekonomi karena pesatnya pertumbuhan kegiatan bisnis dan industri. Secara demografis juga termasuk sangat rawan karena wilayah porong dan sekitarnya sudah padat oleh penduduk, perumahan dan properti masyarakat. Demikian pula analisis lain jika dikaitkan dengan potensi kerugian dan merusak apabila pengeboran terus dilakukan sebagaimana perdebatan antara tim Medco Energy yang menyatakan telah memberikan masukan dan nasehat pada tim Lapindo sebelum kesalahan pengeboran terjadi. Namun Lapindo membantah adanya saran ini, faktanya lumpur panas terus saja menyembur dengan volume yang terus meningkat hingga 165.000 m3 sehari. Kondisi ini terus saja menyedihkan hingga hari ini tahun ke 9 peristiwa semburan itu terjadi.
Motivasi dan dorongan dasar penulis adalah bagaimana kita membuat identifikasi yang obyektif mengenai kepentingan ekstraksi sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat membuat prediksi perubahan yang akan terjadi dalam kurun waktu tertentu. Pelaku bisnis industri tambang emas, tambang batu bara, industri minyak dan gas dapat berdiskusi secara terbuka dan saling pengertian dengan para aktivis lingkungan, jaringan advokasi tambang. Dengan membangun komitmen bersama yang didasari saling pengertian maka pilihan-pilihan yang lebih baik dapat dirumuskan bersama.
Dengan demikian kita dapat mengembangkan kebijakan yang tidak hanya pro-lingkungan namun juga pola dan model tambang selaras alam, migas yang tidak merusak kelangsungan kehidupan sosial, tambang berwawasan lingkungan. Demikian pula pada tataran praktis kita dapat merumuskan standar praktek bisnis tambang yang pro-lingkungan, prakteks bisnis tambang yang selaras dan serasi dengan alam lingkungan fisik dan biologi. Model inilah yang disebut Green Mining Technology, Green Movement, gerakan hijau dan selaras alam lainnya.
Kesimpulan : Menata Kembali Aturan Main
Karakter dasar bisnis pertambangan batu bara dan industri migas adalah merubah kondisi lingkungan secara ekstrim, mengubah bentang alam dan mereduksi deposit sumberdaya alam. Dengan demikian adalah sulit menemukan bisnis tambang yang tidak merusak dan memusnahkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sejumlah aktivis sebagian environmentalist berpendapat tidak mungkin bahkan absurd. Tentu tak dapat dipungkiri potensi dan akibat merusak dari seluruh proses survei, studi kelayakan, ekplorasi, produksi, ekploitasi, transportasi hingga penggunaan oleh konsumen seperti minyak dan batu bara yang mencemari udara.
Betapapun industri minyak dan gas maupun industri pertambangan memiliki potensi merusak sumber daya alam (SDA), faktanya negara kita masih sangat tergantung pada sumbangan kedua sektor ini sebagai sumber pendapatan negara berupa pajak dan obligasi pemerintah. Di era Orde baru sumbangan kedua sektor ini terhadap APBN sekitar 70 % dan sekarang menurun dramatis sekitar 30 %. Kini di era reformasi kontribusinya terus menurun karena terjebak dalam sistem pengelolaan yang tidak adil, dikuasai mafia tambang, mafia mineral, mafia hutan, mafia minyak dan gas, mafia kayu dan sejumlah mafia lainnya. Tidaklah berlebihan jika sebuah buku pernah menulis tentang “Negeri Mafioso”.
Pemerintah sebagai regulator dan juga stakeholder melalui Badan Usaha Milik Negara disektor migas dan pertambangan sudah sepantasnya membuat alokasi anggaran yang cukup signifikan untuk konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, membuat kebijakan yang pro-lingkungan dan kesejahteraan rakyat, mengembangkan kepatuhan pada aturan dan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menciptakan peraturan yang regulated.
Pemerintah juga harus optimalisasi penerimaan negara dari sektor mineral dan migas sebab sektor ini selama 40 tahun lebih cenderung hanya menguntungkan mafia dan pelaku sektor swasta. Negara harus kuat dan adil dengan memperbaiki sistem dan tata kelola seluruh potensi kekayaan sumber daya alam nusantara. Pada saat yang sama pola pengelolaan “ekstraktif” dengan mengambil langsung dari alam dan nilai ekonomi rendah harus dihentikan.
Sebaliknya harus dikelola secara bijaksana dan berkelanjutan agar memberikan nilai tambah ekonomi tinggi dan berkelanjutan bagi generasi hari ini dan generasi masa mendatang. Negara harus hadirkan kesejahteraan rakyat dengan standar IPM yang tinggi dan GNP yang tinggi. Dengan demikian Indonesia bisa terhindar dari ancaman Richard Auty mengenai Resources Curse (Kutukan Sumberdaya alam).
Sebuah kenistaan negeri kaya hutan, kaya tambang, kaya migas, kaya mineral, kaya ikan dan hasil laut selain ikan. Kita sangat kaya namun mengapa kita miskin dan dimiskinkan? Ada fakta yang salah mengenai cara-cara kita mengelola negara selama 70 tahun Indonesia merdeka. Ada 5 juta jiwa orang sangat kaya dengan income diatas 500 juta/tahun., tetapi ada 120 juta rakyat yang sangat miskin dan rentan (income kurang dari 1 US$/hari).
Nawacita Presiden Joko Widodo gagal mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara nyata dan terukur. Tugas negara (menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan seluruh pejabat) adalah mempercepat kesejahteraan rakyat, mencegah korupsi, optimalisasi anggaran APBN dan APBD. Pada saat yang sama memperbesar investasi sosial dan investasi ekonomi bagi infrastruktur dan basis ekonomi berkesejahteraan. Masalahnya, secara ekonomi politik pemerintah menganut faham ekonomi kapitalis dan prakteknya yang makin liberal, makin jauh dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
[1] Pemenang hadiah Nobel, mantan penasehat World Bank yang berbalik mengkritik lembaga Bank Dunia itu.
[2] Kutukan Sumber Daya Alam “Paradox Berkelimpahan” sebuah Tesis yang mengilhami sejumlah penelitian mengenai ketidakadilan Kontrak Pengelolaan Sumberdaya Alam di sejumlah negara di dunia. Auty menyebut kekayaan sumber daya alam gagal membawa berkah dan keuntungan namun sebaliknya menjadi kutukan yang memiskinkan rakyat negara pemilik sumberdaya alam.
Post Views: 121
Adblock test (Why?)
I am glad I shall never be young without wild country to be young in. Of what avail are forty freedom, without a blank spot on the map?
Aldo Leopold, Return of the Wild
Ekstraksi Sumberdaya Alam Tak Terbarukan
Seluruh masyarakat modern saat ini sangat tergantung pada ekstraksi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya alam yang tak terbaharukan (unrenewable resources) seperti minyak dan gas atau pertambangan batu bara dan mineral. Demikian pula ekstraksi terhadap sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) seperti hasil hutan yakni kayu dan sumberdaya perikanan laut seperti ikan.
Dalam satu abad terakhir ini dapat kita saksikan energi dunia di ekploitasi secara mengenaskan seperti minyak, gas dan batu bara. Hal ini disebabkan karena meningkatnya permintaan atau konsumsi energi global khusunya Bahan Bakar Minyak. Selain itu pencarian sumber dan ladang minyak baru ditingkatkan untuk terus menjaga jumlah cadangan tersedia BBM global. 90 % ketergantungan energi dunia masih pada energy fosil fuel yang terus terancam berkurang dan habis. Faktanya memang hampir seluruh bagian dari kegiatan kita sangat tergantung pada energi, khususnya energi yang bersumber dari bahan bakar minyak.
Demikian pula peralatan yang ada disekeliling kita sebagian besar berasal dari kegiatan pertambangan seperti peralatan rumah tangga, mobil, mesin dan material untuk pembangunan multy storey building. Termasuk didalamnya bahan-bahan metal, kayu atau derivasi kegiatan petrokimia semacam plastik dan bahan-bahan sintetik. Kita membutuhkan kertas yang berasal dari bubur kayu yang diolah agar kita dapat menulis untuk keperluan ATK dan mencetak di komputer. Konstata inilah yang menjadi dasar praktek kapitalisme, dimana korporasi sebagai inangnya.
Fakta yang berbeda dengan ekstraksi sumberdaya terbarukan (renewable resources) seperti hasil hutan seperti kayu, sumberdaya pesisir dan kelautan seperti ikan dan hasil laut lainnya. Namun, sayangnya karena cara-cara yang dilakukan manusia dan pemodal besar tidak memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, maka sumber daya hutan dan perikanan laut juga mengalami ancaman. Situasi ini sangat merisaukan karena memiliki potensi mengancam keseimbangan antara suplly-demand hasil ikan dan kesenjangan distribusi nutrisi dan protein produk hasil laut, dimana negara kaya mengonsumsi lebih dari 70% hasil laut khususnya hasil perikanan.
Dalam 30 tahun pemerintahan orde baru di Indonesia lebih dari 1 juta ha hutan kita mengalami penggundulan, hanya sepertiga yang ditanami kembali melalui reboisasi dengan jenis pohon yang berbeda. Jika pola ini terus dibiarkan maka diperkirakan 20 tahun kedepan hutan Indonesia akan mengalami penggurunan (deforestation). Situasi ini akan memicu bencana lain seperti ketersediaan sumberdaya air, perubahan iklim dan cuaca hingga konflik sosial dan amuk massa.
Sejumlah negara di dunia saat ini sangat tergantung pada industri ekstraktif, beberapa diantaranya seperti Indonesia karena lemahnya sistem hukum dan proses penegakan hukum dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang salah maka terjadi praktek menguras habis, menjual dengan harga murah, jual cepat sumberdaya kayu (logging) dari hutan dan pertambangan (mining). Demikian pula halnya hasil tangkapan ikan semakin menurun dalam 30 tahun terakhir ini walaupun armada pukat harimau semakin bertambah. Karena itu kebijakan melawan illegal fishing sangat dinantikan sebab kondisi sangat merisaukan tingkat pencurian ikan dilaut NKRI oleh kapal asing.
Pertambangan mineral emas, tembaga dan perak di bumi Papua adalah salah satu kegiatan big mining bussiness yang paling merisaukan. Ekstraksi tambang Freeport Mc.Moran di Papua telah berlangsung 50 tahun dan masih terus diperpanjang 30 tahun lagi. Ancaman yang sama dihadapi masyarakat Sumbawa berhadapan dengan PT Newmont Nusa Tenggara di kabupaten Sumbawa barat. Sebagai respon atas kritik tata kelola tambang dan sumberdaya alam yang tidak berkeadilan dan tidak berkelanjutan, tidak ramah lingkungan menguat gagasan untuk membangun pabrik smelter dan refinery hasil penambangan emas dan mineral.
Pertanyaan mendasar kini adalah apakah pilihan pada ekstraksi sumberdaya alam tambang emas ini merupakan pilihan sadar dari masyarakat atau hanya kepentingan dan keuntungan para komprador emas? Apa yang diperoleh masyarakat atas ekstraksi ini? Berapa besar manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat suku Amungme di Komoro atau suku Asmat, suku Dhani, suku Samawa di Sumbawa, orang Taliang di kabupaten Sumbawa barat dan suku-suku lainnya? Jika ekstraksi ini bukan pilihan mereka, mengapa kontrak karya ini diteruskan? Ini pertanyaan mendasar dan penting untuk menjawab, apakah kita saat ini sedang mengambil pilihan bagaimana mengarahkan masyarakat kita menuju kegagalan atau keberhasilan?
Menarik untuk menyimak pendapat Jared Diamond seorang geologist mengenai sumberdaya extractive berikut ini “Coal mining is superficially even more similar to hardrock mining than is the oil industry, in that its operation inevitably create heavy environmental impacts. Coal mins tend to make even bigger messes than do hardrock mines, becouse the quantity of coal extracted per year is relatively enormous: more than triple the combined mass of all the metals extracted from hardrock mines.Thus, coal mines usually disturb more area, and i some cases the strip the soil down to bedrock and and dump mountain tops in rivers……………………..”.
Ekstraksi Minyak dan Gas
Ekstraksi minyak telah berlangsung lebih dari 2 abad, namun peningkatan konsumsi minyak global pasca perang dunia kedua telah memicu pencarian dan eksploitasi besar-besaran berbagai sumur minyak diberbagai belahan dunia, khususnya kawasan Timur tengah (middle east countries). Amerika Serikat merupakan negara paling konsumtif teri total konsumsi minyak global yakni sekitar 20% secara agregat dalam 7 dekade terakhir ini.Tingginya kebutuhan minyak Amerika Serikat dipicu oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan industri. Selain itu tumbuhnya industri otomotif dunia secara serentak mendorong permintaan minyak untuk transportasi bersamaan dengan tumbuhnya ribuan kota-kota baru di seluruh dunia dalam setengah abad terakhir ini.
Beberapa negara penghasil minyak memang memperoeh keberuntungan atas meningkatnya permintaan minyak dunia, namun karena sifat industri satu ini yang monopolistik dimana produksi minyak dunia secara faktual dikuasai oleh 5 raksasa perusahaan minyak dunia diantaranya Exxon Mobil, Chevron, Shell and Philip, British Petroleum dan Gabungan beberapa perusahaan Gazprom, perusahaan Minyak milik Rusia, kemudian menyusul CNOOC China bersama Cina Petroleum.
Baca Juga Khawatir Virus Corona, CPMI Asal Sumbawa Minta Dipulangkan
Dalam prakteknya beberapa peusahaan minyak nasional seperti Aramco, pada dasarnya sebuah perusahaan partnership antara perusahaan minyak nasional Arab dengan perusahaan swasta Amerika Serikat. Artinya teknologi dan investasi dikuasai oleh perusahaan Amerika serikat,csedangkan Arab Saudi hanya memiliki ladang minyak dan kekuasaan atas teritorial.
Terbatasnya tenaga ahli dibidang perminyakan dunia membuat saling ketergantungan antara pemerintah negara-negara penghasil minyak dengan para tenaga ahli asing. Selain itu terbatasnya kemampuan penguasaan teknologi dan rendahnya tingkat investasi pemerintah negara-negara penghasil minyak mengakibatkan pengelolaan minyak diserahkan pada perusahaan minyak asing melalui suatu kontrak yang cenderung merugikan pemerintah dan kekayaan negara penghasil minyak.
Berikut ini disajikan data proyeksi dan kondisi saat ini produksi minyak dunia, dihadapkna dengan cadanan yang semakin menipis, seingga semakin mengancam keamanan global. Sebuah tragedi perang demi minyak telah kita saksikan dalam sejarah seperti Perang Iran-Irak (1978-1988), Perang Afghanistan-Rusia (1978-1989), Perang Irak – Amerika Serikat (1999), Perang Irak – Amerika Serikat + Sekutu (2003 – sekarang), Perang Afghansitan/ Thaliban – Amerika Serikat + sekutu (1999 – sekarang).
PRODUKSI DAN CADANGAN MINYAK DI TELUK PERSIA DAN KAWASAN LAIN 2002 – 2025
Data berdasarkan negara dan wilayah, akhir tahun 2002 (bb) mengenai Persentase total dunia Produksi aktual 2002 (mbd), Persentase total dunia Perkiraan Kapasitas Produksi 2025 (mbd) dan Persentase total dunia
Iran 89.7 8.6 3.37 4.6 4.9 3.9
Iraq 112.5 10.7 2.03 2.7 5.2 4.2
Kuwait 96.5 9.2 1.87 2.5 5.1 4.1
Oman 5.5 0.5 0.90 1.2. n.a n.a
Qatar 15.2 1.5 0.76 1.0 0.8 0.6
Saudi Arabia 261.8 25.0 8.68 11.7 23.8 19.1
Uni Emirat Arab 97.8 9.3 2.27 3.1 5.4 4.3
Total Teluk Persia 679.0 64.8 19.88 26.9 45.2* 36.3*
Amerika Serikat 30.4 2.9 7.70 10.4 9.4 7.6
Kanada dan Mexico 19.5 1.9 6.44 8.7 8.9 7.1
Negara Laut Utara 16.3 1.6 6.16 8.3 4.5 3.6
Negara Bekas Uni Soviyet 77.1 7.4 9.35 12.6 15.9 12.8
Afrika 77.4 7.4 7.94 10.7 16.2 13.0
Asia 38.7 3.7 7.99 10.8 7.5 6.0
Amerika Tengah, Selatan 98.6 9.4 6.65 9.0 12.3 9.9
Rest of World 10.7 1.0 1.83 2.5 4.6 3.7
Total Dunia 1047.7 100.0 73.94 100.0 113.5 100.0
Sumber: Untuk Data 2002, BP, Statistical Review of World Energy 2003 (London, BP, Juni 2003), pp.4,6,9 untuk data 2025, Departemen Informasi dan Administrasi Energi Amerika Serikat (DoE/EIA) International Energy Outlook 2003 (Washington D.C DoE/EIA 2003) lihat Juga buku Blood and Oil, Michael Klare. Abbreviaion : bbl=billion barrels, mbd= million barrels per day
Kontroversi Environmentalist
Karakter dasar kapitalisme, kebanyakan ekstraksi sumberdaya alam dilakukan oleh pengusaha dan korporasi yang memiliki modal besar. Korporasi ini bagaikan gutita raksasa yang menguasai secara keseluruhan industri misalnya penguasaan terhadap minyak dan gas sekaligus menguasai sektor retail dan pertambangan. Mereka juga menguasai pasar produk derivatifnya seperti sabun, oli hingga produk kosmetik dan kesehatan global. Kontroversi yang paling kuat datang dari para aktivis lingkungan dan environmentalist. Pada tataran global maupun nasional tendensi pertentangan ini menjadi permusuhan. Kaum environmentalist menuduh bahwa para pemilik modal besar (big mining bussiness) jelas-jelas melakukan pengrusakan sumberdaya alam, pada tingkatan tertentu sudah termasuk pemusnahan sumberdaya alam dan lingkungan (ecocide).
Ketika kaum pemodal memperoleh keuntungan besar dari ekstraksi sumber daya tambang emas dan perak ini pada saat yang sama masyarakat disekitar tambang hidup miskin dan menderita. Sumber kelangsungan hidupnya terganggu oleh pencemaran dan pembuangan limbah seperti tailing dan perubahan iklim mikro. Ilmuwan sekelas Joseph Stiglizt [1] pernah mengkritik keras ketidakadilan dalam pengeolaan sumber daya alam minyak, gas dan pertambangan di negara-negara berkembang yang hidup miskin dan berpendapatan rendah. Kritik lebih keras juga dating dari Richard Auty melalui Tesisnya yang berjudul “Resources Curses” The Plenty of Paradox [2].
Sebaliknya perusahaan tambang dan pemilik modal selalu berdalih bahwa mereka terikat kontrak dengan pemerintah dan pemegang saham. Selain itu mereka mengklaim telah menyumbang melalui pajak, penciptaan lapangan kerja dan pembagian laba kepada negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan APBD. Kontroversi dan perbedaan inilah yang melahirkan dikotomi sikap dan kepentingan yakni kelompok pro-tambang dan kelompok anti tambang. Sebagai jalan tengah seharusnya juga diperkuat suara kelompok “pro-tambang berkeadilan, pro-tambang ramah lingkungan”.
Kelompok pro-tambang terdiri dari para pengusaha pelaku tambang, para professional dan pakar yang bekerja atau dibayar oleh pemodal sektor pertambangan, pemerintah pusat dan daerah, kaum akademisi yang difasilitasi dan dibiayai oleh perusahaan tambang. Sedangkan kelompok anti tambang meliputi aktivis gerakan lingkungan, aktivis hak azasi manusia, pengamat pertambangan, kelompok dan jaringan advokasi tambangan dan jaringan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian pada masalah pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Sikap dan argumentasi penulis adalah sepanjang kebijakan dan praktek bisnis pertambangan dilakukan secara transparan, berkeadilan, memenuhi akuntabilitas dan audit lingkungan serta dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak Sosial (AMDAS) dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat, maka peran dan kegiatan sektor pertambangan dapat diterima sebagai sesuatu hal yang penting baik secara ekonomi maupun untuk pemenuhan kebutuhan energi dunia dan domistik serta kaitan dengan pengembangan teknologi.
Dalam banyak kasus faktanya memang konflik kepentingan acap kali terjadi, beberapa kasus akhirnya diselesaikan melalui proses peradilan. Ketika analisis global dan data lapangan menyarankan adanya kondisi rawan (vulnerability) disuatu kawasan, maka kegiatan pertambangan skala besar justru akan memicu bencana dan percepatan pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Contoh lain seperti dijelaskan pada bagian utama artikel ini dalam kasus lumpur Lapindo Brantas adalah kemungkinan kelalaian dan kesalahan pengeboran oleh Medici Citra Nusa sebuah perusahaan afiliasi PT. Lapindo Brantas, Santos Co. dan Medco Energy Co. di Sidoarjo.
Baca Juga Empat Dosen UTS Boyong Hibah Nasional dan Internasional
Secara geografis kawasan Sidoarjo sudah dapat dikategorikan dalam kondisi rawan (vulnerable) secara ekologi dan ekonomi karena pesatnya pertumbuhan kegiatan bisnis dan industri. Secara demografis juga termasuk sangat rawan karena wilayah porong dan sekitarnya sudah padat oleh penduduk, perumahan dan properti masyarakat. Demikian pula analisis lain jika dikaitkan dengan potensi kerugian dan merusak apabila pengeboran terus dilakukan sebagaimana perdebatan antara tim Medco Energy yang menyatakan telah memberikan masukan dan nasehat pada tim Lapindo sebelum kesalahan pengeboran terjadi. Namun Lapindo membantah adanya saran ini, faktanya lumpur panas terus saja menyembur dengan volume yang terus meningkat hingga 165.000 m3 sehari. Kondisi ini terus saja menyedihkan hingga hari ini tahun ke 9 peristiwa semburan itu terjadi.
Motivasi dan dorongan dasar penulis adalah bagaimana kita membuat identifikasi yang obyektif mengenai kepentingan ekstraksi sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat membuat prediksi perubahan yang akan terjadi dalam kurun waktu tertentu. Pelaku bisnis industri tambang emas, tambang batu bara, industri minyak dan gas dapat berdiskusi secara terbuka dan saling pengertian dengan para aktivis lingkungan, jaringan advokasi tambang. Dengan membangun komitmen bersama yang didasari saling pengertian maka pilihan-pilihan yang lebih baik dapat dirumuskan bersama.
Dengan demikian kita dapat mengembangkan kebijakan yang tidak hanya pro-lingkungan namun juga pola dan model tambang selaras alam, migas yang tidak merusak kelangsungan kehidupan sosial, tambang berwawasan lingkungan. Demikian pula pada tataran praktis kita dapat merumuskan standar praktek bisnis tambang yang pro-lingkungan, prakteks bisnis tambang yang selaras dan serasi dengan alam lingkungan fisik dan biologi. Model inilah yang disebut Green Mining Technology, Green Movement, gerakan hijau dan selaras alam lainnya.
Kesimpulan : Menata Kembali Aturan Main
Karakter dasar bisnis pertambangan batu bara dan industri migas adalah merubah kondisi lingkungan secara ekstrim, mengubah bentang alam dan mereduksi deposit sumberdaya alam. Dengan demikian adalah sulit menemukan bisnis tambang yang tidak merusak dan memusnahkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sejumlah aktivis sebagian environmentalist berpendapat tidak mungkin bahkan absurd. Tentu tak dapat dipungkiri potensi dan akibat merusak dari seluruh proses survei, studi kelayakan, ekplorasi, produksi, ekploitasi, transportasi hingga penggunaan oleh konsumen seperti minyak dan batu bara yang mencemari udara.
Betapapun industri minyak dan gas maupun industri pertambangan memiliki potensi merusak sumber daya alam (SDA), faktanya negara kita masih sangat tergantung pada sumbangan kedua sektor ini sebagai sumber pendapatan negara berupa pajak dan obligasi pemerintah. Di era Orde baru sumbangan kedua sektor ini terhadap APBN sekitar 70 % dan sekarang menurun dramatis sekitar 30 %. Kini di era reformasi kontribusinya terus menurun karena terjebak dalam sistem pengelolaan yang tidak adil, dikuasai mafia tambang, mafia mineral, mafia hutan, mafia minyak dan gas, mafia kayu dan sejumlah mafia lainnya. Tidaklah berlebihan jika sebuah buku pernah menulis tentang “Negeri Mafioso”.
Pemerintah sebagai regulator dan juga stakeholder melalui Badan Usaha Milik Negara disektor migas dan pertambangan sudah sepantasnya membuat alokasi anggaran yang cukup signifikan untuk konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, membuat kebijakan yang pro-lingkungan dan kesejahteraan rakyat, mengembangkan kepatuhan pada aturan dan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menciptakan peraturan yang regulated.
Pemerintah juga harus optimalisasi penerimaan negara dari sektor mineral dan migas sebab sektor ini selama 40 tahun lebih cenderung hanya menguntungkan mafia dan pelaku sektor swasta. Negara harus kuat dan adil dengan memperbaiki sistem dan tata kelola seluruh potensi kekayaan sumber daya alam nusantara. Pada saat yang sama pola pengelolaan “ekstraktif” dengan mengambil langsung dari alam dan nilai ekonomi rendah harus dihentikan.
Sebaliknya harus dikelola secara bijaksana dan berkelanjutan agar memberikan nilai tambah ekonomi tinggi dan berkelanjutan bagi generasi hari ini dan generasi masa mendatang. Negara harus hadirkan kesejahteraan rakyat dengan standar IPM yang tinggi dan GNP yang tinggi. Dengan demikian Indonesia bisa terhindar dari ancaman Richard Auty mengenai Resources Curse (Kutukan Sumberdaya alam).
Sebuah kenistaan negeri kaya hutan, kaya tambang, kaya migas, kaya mineral, kaya ikan dan hasil laut selain ikan. Kita sangat kaya namun mengapa kita miskin dan dimiskinkan? Ada fakta yang salah mengenai cara-cara kita mengelola negara selama 70 tahun Indonesia merdeka. Ada 5 juta jiwa orang sangat kaya dengan income diatas 500 juta/tahun., tetapi ada 120 juta rakyat yang sangat miskin dan rentan (income kurang dari 1 US$/hari).
Nawacita Presiden Joko Widodo gagal mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara nyata dan terukur. Tugas negara (menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan seluruh pejabat) adalah mempercepat kesejahteraan rakyat, mencegah korupsi, optimalisasi anggaran APBN dan APBD. Pada saat yang sama memperbesar investasi sosial dan investasi ekonomi bagi infrastruktur dan basis ekonomi berkesejahteraan. Masalahnya, secara ekonomi politik pemerintah menganut faham ekonomi kapitalis dan prakteknya yang makin liberal, makin jauh dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
[1] Pemenang hadiah Nobel, mantan penasehat World Bank yang berbalik mengkritik lembaga Bank Dunia itu.
[2] Kutukan Sumber Daya Alam “Paradox Berkelimpahan” sebuah Tesis yang mengilhami sejumlah penelitian mengenai ketidakadilan Kontrak Pengelolaan Sumberdaya Alam di sejumlah negara di dunia. Auty menyebut kekayaan sumber daya alam gagal membawa berkah dan keuntungan namun sebaliknya menjadi kutukan yang memiskinkan rakyat negara pemilik sumberdaya alam.
Post Views: 121
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar