ProSumbawa Oleh: Iwan Febryanto
Berdasarkan pemahaman umum bahwa disabilitas masih dipandang sebagai kondisi congenital (bawaan sejak lahir), sehingga perhatian masyarakat bahkan sebagian aparatur pemerintah masih membatasi kategori disabilitas dan masih kurang peduli. Tantangan lainnya adalah bahwa terdapat lebih banyak lagi warga masyarakat yang mengalami disabilitas akibat post syndrome.
Faktanya banyak saudara kita yang mengalami disabilitas setelah menghadapi peristiwa kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan penerbangan, kapal laut dan lainnya.
Data POLRI tahun 2002 jumlah kasus kecelakaan lalu lintas rata-rata 28.000 kasus, dengan keberagaman jenis
kecelakaan seperti kecelakaan tunggal, motor crash motor, kecelakaan bus, kecelakaan beruntun dan kecelakaan
menonjol. Data ini konsisten hingga 2012. Jika setiap kasus kecelakaan timbul korban luka berat (patah tulang,
kaki, tangan, benturan kepala) 4 orang, maka setiap tahun jumlah disabilitas post syndrome laka lantas mencapai
112.000 jiwa. Selanjutnya ada beberapa saudara kita yang sebelumnya hidup normal dan sehat, namun tiba-tiba
mengalami disabilitas post syndrome setelah sakit, seperti sakit stroke, parkinson, alzhemir dan sakit lainnya.
Berdasarkan data tahun 2018 jumlah penderita sakit Parkinson di Indonesia mencapai 60.000 jiwa, kurang dari 1%
yang dinyatakan sembuh. Pada umumnya penderita sakit Parkinson mengalami TRAP (Tremor, Rigidity, Akinesia, Postural balance) dan ditandai dengan movement disorder. Secara global diperkirakan 15% warga dunia atau 1 milyar jiwa mengalami keterbatasan (menyandang disabiitas). Di Indonesia diperkirakan 23,6 juta jiwa
menyandang disabilitas. Kewajiban pemerintah adalah memenuhi hak penyandang disabilitas dalam kerangka
GEDSI; Gender, Equity, Disability and Social Inclussion.
Keywords: disabilitas, UU No 8 tahun 2016, post syndrome, congenital, hak penyandang disabilitas, GEDSI.
Pengertian Penyandang Disabilitas
Pengertian Penyandang Disabilitas menurut Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dengan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai keberadaan regulasi ini sangat membantu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, namun masalah
data,verivali,adminduk dan penjangkauan serta belum terintegrasinya system layanan social merupakan agenda penting dimasa depan.
Peneliti dan penulis multidisipliner, pernah menjadi staf ahli A-DPR-RI Komisi 3, komisi 6 dan Komisi 7 tahun 2007-2009, 2014-2015. Konsultan DFAT Kemensos program SLRT tahun 2016-2019. Menderita disabilitas fisik, TRAP dan movemet disorder sejak April 2019 akibat sakit Parkinson.
Ketua Dewan Pendiri Asosiasi Penyandang Disabilitas Post Syndrome di Indonesia. Hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Menurut UU No 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Sehingga mengacu pada pengertian tersebut, penyandang disabilitas diakui sebagai bagian integral dari masyarakat yang tidak terpisahkan dari anggota masyarakat lainnya.
Penyandang disabilitas mempunyai
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama sebagai warga negara. Penyandang disabilitas merupakan aset negara bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri sebagaimana manusia lainnya. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki penyandang disabilitas dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa sejak lahir, maupun paska sakit/kecelakaan.
Keragaman jenis disabilitas
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Ragam Disabilitas dibagi menjadi empat, yaitu:
A. Penyandang disabilitas fisik
Disabilitas ini berhubungan dengan kerusakan atau kelainan pada tulang, sendi, dan otot/sistem syaraf. Secara garis besar disabilitas fisik terdiri atas:
1. Disabilitas Tubuh/Daksa
Disabilitas tubuh/daksa adalah kehilangan anggota tubuh akibat kecelakaan, sakit dan amputasi. Contohnya adalah:
a. Celebral palsy (kerusakan fungsi otak yang menyebabkan gangguan pergerakan, keseimbangan dan kejang otot), yang terdiri dari: Hemiplegia (gangguan pada fungsi separuh/sebagian gerak pada bagian kanan atau kiri tubuh)
b. Diplegia (gangguan minimal pada fungsi gerak bagian atas tubuh dan domain pada ekstremitas gerak bawah tubuh), Quadryplegia (kelumpuhan pada tangan dan kaki secara keseluruhan)
c. Polio (kelainan pada anggota tubuh seperti kaki kecil sebelah atau lumpuh sebagai akibat terserang virus polio)
d. Meninghitis (peradangan pada otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak sehingga anak mengalami kecacatan seperti lumpuh, kemunduran mental)
e. Muscular Distropy (pengecilan/pengerutan otot karena masalah genetik)
f. Multiple scelerosis (layuh otot)
g. Spinabifida (kelainan pada hidrocepalus dan kelemahan/ kelumpuhan pada kedua tungkai yang disertai dengan gangguan lainnya)
Karakteristik sosial psikologis penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis antara lain:
Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection; Rendah diri; Kurang percaya diri, mengisolir diri; emosional labil; Cenderung hidup senasib; Agresif; ada perasaan tidak aman; Cepatvmenyerah; Apatis; Kekanak-kanakan dan Melakukan mekanisme pertahanan diri.
2. Disabilitas Netra (penglihatan)
Disabilitas netra adalah individu yang mengalami gangguan penglihatan secara total maupun sebagian. Dan di bagi menjadi dua: (a) Total blind/buta total (kehilangan kemampuan penglihatan secara total); (b) Low vision/kurang awas pada jarak pandang tertentu atau masih memiliki sisa penglihatan disabilitas
3. Disabilitas Rungu-Wicara
Disabilitas rungu yaitu individu yang mengalami kerusakan alat dan organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi atau suara. Disabilitas wicara yaitu individu yang mengalami kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara serta produksi suara. Adapun ciri-cirinya
adalah: 1) tidak dapat memproduksi suara atau bunyi; 2) kurang atau tidak menguasai perbendaharaan kata; 3) gagap/ starting; dan 4) berkomunikasi dengan menggunakan gerakan tubuh atau simbol.
Sedangkan Rungu wicara yaitu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan berbahasa yangvdisebabkan karena kerusakan alat dan organ pendengaran sehingga individu tidak mengenal cara mempergunakan organ bicara dan tidak mengenal konsep bahasa. Penyandang disabilitas rungu wicara, yang terdiri dari cacat rungu total dan kurang dengar, memiliki karakteristik Pada waktu bicara, tidak jelas kata/ kalimat yang diucapkan.
B. Penyandang Disabilitas Intelektual
Mencakup berbagai kekurangan intelektual. Contohnya, anak yang mengalami down syndrome.
C. Penyandang Disabilitas Mental4
Disabilitas mental mengacu pada ketidakberfungsian intelektual yang disertai ketidakmampuan adaptasi
perilaku dan terjadi selama masa perkembangan. Kemampuan perilaku (menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V-TR), Menurut gangguan perkembangan ADD/ADHD (Attention deficit disorder/attention deficit hyperactivity disorders), gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas)
D. Penyandang Disabilitas Sensorik
Disabilitas mental mengacu pada ketidakberfungsian intelektual yang disertai ketidakmampuan adaptasi
perilaku dan terjadi selama masabperkembangan. Tidak jarang saat anak balita mengalami demam tinggi dan kejang, namun orang tuanya salah penanganan dan berakibat anak menjadi disabilitas bahkan sampaivfatalitas. Sebagai contoh aktual 10 Februari 2021 seorang ibu melahirkan anak dengan kondisi sehat dan seringkali terjadi kesalahan dan/atau ketidaktahun pada orang-orang terdekat dan anggota keluarga mengenai tata laksana penanganan penyandang disabilitas intelektual maupun jenis disabilitas lalinnya. Karena itu penulis mengajak peneliti, akademisi, para medis dan pemerhati kesehatan untuk kolaborasi membuat pedoman tata laksana penanganan seluruh jenis disabilitas secara komprehensif.
4 Perhatian dari keluarga dan orang terdekat dengan penuh kasih sayang sangat dibutuhkan, pemahaman
masyarakat dan lingkungan sosial juga penting. normal. Namun anggota keluarganya memandikan sang bayi diusia hari ke-empat dengan air dingin
dimana cuaca musim hujan di Bogor. Akibatnya fatal, anak balita sakit dan kemudian tidak terselamatkan.
Baca Juga Lagi, 49 Orang Terpapar Covid, Termasuk 9 Balita dan 3 Anak-anak
Tingkatan Disabilitas
1. Penyandang disabilitas berat adalah penyandang disabilitas yang kedisabilitasannya sudah tidak dapat
direhabilitasi, tidak dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dan/atau sepanjang hidupnya tergantung pada bantuan orang lain, dan tidak mampu menghidupi diri sendiri.
2. Penyandang disabilitas sedang adalah orang yang mengalami kelainan fisik, mental (mampu latih), fisik dan mental (ganda) misalnya keadaan tubuh dengan amputasi dua tangan atas siku, amputasi kaki atas lutut, atas paha, tuna rungu, tuna netra, dan sebagainya. Penyandang disabilitas tersebut selain mampu
melakukan aktivitas sehari-hari sendiri dan tidak sepenuhnya memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi.
3. Penyandang disabilitas ringan adalah orang yang mengalami kelainan fisik, mental (mampu didik dan mampu latih) misalnya keadaan tubuh dengan amputasi tangan atau kaki, salah satu kaki layuh, tangan/kaki bengkok. Penyandang disabilitas tersebut masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari
sendiri dan tidak memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda atau multi dalam jangka waktu lamavyang ditetapkan oleh tenaga medis. Penyandang disabilitas ganda adalah seseorang yang menyandang lebih dari satu disabilitas.
Pola Penanganan penyandang disabilitas di dalam keluarga dikenal juga Rehabilitasi Berbasis Keluarga (RBK).
Pengasuhan yang baik bagi penyandang disabilitas adalah dengan cara: Pertama; Mengikuti prosesbperkembangan anak (apabila masih usia anak), kedua; Memberikan perawatan dasar, misalnya: makanan, pakaian, alas tidur, Memberikan nutrisi tambahan (untuk anak yang kekurangan nutrisi), Selalu mengganti pakaian yang bersih, Menjemur anak agar mendapatkan sinar matahari yang cukup, Menjaga kesehatan (pemeriksaan rutin ke Puskesmas dan patuh obat), ketiga; Memberikan kasih sayang dan perhatian, keempat; Memberikan rasa aman dan nyaman, kelima; Memberikan stimulasi, misalnya diajak bicara,
merespon keinginan, keenam; Memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas berat untuk tetap
memperoleh pelayanan sosial dasar (akte kelahiran, kesehatan), ketujuh; Memberikan kesempatan berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal, kedelapan; Penyandang disabilitas diasuh oleh keluarga inti, kesembilan; Memberikan bimbingan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) terhadap Penyandang Disabilitas Berat
Masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas
Berat. Unsur masyarakat diharapkan dapat: pertama; Membantu jika ada penyandang disabilitas berat yang membutuhkan pertolongan/bantuan, kedua; Memberi kemudahan penyandang disabilitas berat untuk mendapat kemudahan dalam penggunaan sarana/prasarana umum di masyarakat. Ketiga; Memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti kegiatan kemasyarakatan di lingkungan, keempat; Memberikan informasi jika terdapat keluarga dan/ penyandang disabilitas
memerlukan infomasi rujukan, kelima; Menghimbau kepada keluarga yang memiliki penyandang disabilitas berat agar penyandang disabilitas berat terpenuhi haknya. Keenam; Menginformasi kepada pihak terkait/tokoh masyarakat jika terdapat penyandang disabilitas berat yang belum mendapatkan hak-haknya.
Baca Juga WASPADA CUKAI PALSU, PENGEDAR DAN PENJUAL DIANCAM PIDANA
Peran Pemerintah UNCRPD dan Regulasi/Peraturan terkait yang Mendukung Pemberian Sistem Perlindungan Sosial yang Inklusif. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau yang dikenal dengan United Nation Convention of Rights of People with Disability (UNCRPD), yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2011 menetapkan bahwa individu penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengakses perlindungan sosial
tanpa diskiriminasi. Secara khusus, konvensi tersebut menyatakan bahwa sistem perlindungan sosial harus memastikan standar hidup yang layak dan perlindungan dari kemiskinan, membantu mengurangi beban pengeluaran terkait kondisi disabilitas individu dan memastikan akses yang layak serta layanan yang terjangkau, alat bantu atau bantuan lain untuk kebutuhan terkait kondisi disabilitas seseorang memberikan dukungan kepada anak penyandang disabilitas dan keluarganya, dengan perhatian yang
spesifik kepada perempuan dengan disabilitas memastikan inklusivitas dan partisipasi dan individu penyandang disabilitas.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas telah memberikan kerangka hukum agar sistem perlindungan sosial yang komprehensif bagi penyandang disabilitas dimasukkan dalam beberapa pasal yang ada; misalnya terkait
kesejahteraan sosial (pasal 17 dan 90-96), artikel terkait hidup secara mandiri dan keterlibatan dalamvmasyarakat (pasal 23), konsesi (pasal 114-116), perempuan dan anak (Pasal 5 dan 126), adalah beberapa pasal yang terkait dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang No. 8 tahun 2016 juga mendorong agar UU No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN, dan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan No. 20 tahun 2006 mengenai Petunjuk Penyaluran dan Pencairan Dana Jaminan Sosial Penyandang Cacat bagi Penyandang Cacat Berat dan Jaminan Sosial Lanjut Usia bagi Lanjut Usia Terlantar, dapat memberikan perlindungan sosial yang komprehensif bagi penyandang disabilitas.
Peran Komunitas Internasional
Bukti-Bukti adanya perhatian komunitas Internasional dapat dipelajari dari Negara-negara yang Melaksanakan Sistem Perlindungan Sosial secara Komprehensif. Menurut laporan ILO tahun 2015 ILO World Report on Social Protection, 60 negara secara global telah melaksanakan kombinasi dari manfaat
disabilitas melalui skema kontribusi dan non-kontribusi. Beberapa tahun terakhir, banyak negara yang mulai menyadari bahwa skema bantuan sosial bagi masyarakat miskin seharusnya dapat lebih responsif terhadap penyandang disabilitas, seperti Indonesia, Zambia dan Filipina. Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya seperti Georgia, Afrika Selatan, Bangladesh, Kenya dan Fiji juga mulai
mengembangkan bantuan/tunjangan spesifik bagi penyandang disabilitas melalui skema non-kontribusi.
Nepal dan Vietnam sebagai contoh juga memberikan sistem perlindungan sosial yang cukup komprehensif bagi penyandang disabilitas, dengan mengkombinasikan skema disabilitas melalui jaminan sosial; nonkontribusi dan bantuan disabilitas tanpa syarat bagi anak dan individu disabilitas dewasa, serta secara paralel juga terus mengembangkan konsesi yang bermanfaat seperti untuk pendidikan, layanan transportasi, dan kesehatan secara gratis.
Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Secara global, sekitar 15 persen (1 milyar jiwa) populasi dunia mengalami/memiliki kondisi disabilitas
dimana prevalansi di negara – negara berkembang pada umumnya lebih tinggi. Penyandang disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi dan mengalami keterbatasan kesempatan untuk mengakses fasilitas pendidikan, kesehatan, nutrisi, kemungkinan kesempatan bekerja yang lebih sedikit daripada mereka yang tidak memiliki disabilitas serta pada umumnya berada pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.
Data nasional Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 menunjukkan bahwa jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia adalah sekitar 9 persen (23,3 juta jiwa)
Penyandang disabilitas di Indonesia juga masih memiliki tantangan untuk mengakses beberapa layanan dasar seperti akte kelahiran, pendidikan, kesehatan termasuk jaminan kesehatan, dan kesulitan untuk memasuki pasar kerja dan lapangan kerja.
Di beberapa tempat, penyandang disabilitas masih banyak yang berada dalam kondisi ditelantarkan, ditinggalkan, diskriminasi, atau bahkan banyak yang mengalami perlakuan salah lainnya seperti kekerasan seksual dan eksploitasi karena kedisabilitasan yang dimilikinya. Para penyandang disabilitas kerap menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan hal itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tindakan
tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, dimana mereka tinggal dan budaya yang berlaku di tempat tersebut.
Namun ada juga segelintir penyandang disabilitas yang produktif, bahkan mampu membuka kesempatan kerja bagi warga normal/non-disabilitas.
Pemerintah di beberapa negara mencoba memperjuangkan hak-hak para penyandang disabilitas dengan
bersama-sama menetapkan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD)/Convention on the Rights of
Persons with Dissabilities (CRPD). Konvensi ini dibuat agar para penyandang disabilitas bisa menikmati
hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa pun.
Selain itu, konvensi ini juga menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya di Indonesia, hak-hak penyandang disabilitas diatur di dalam UU No. 8 Tahun 2016 yang meliputi: Hak Hidup; Bebas dari stigma; Privasi;
Keadilan dan perlindungan hukum; Pendidikan; Pekerjaan, kewirausahaan, koperasi; Kesehatan; Politik;Keagamaan; Keolahragaan; Kebudayaan dan pariwisata; Kesejahteraan sosial; Aksesibilitas; Pelayanan public; Perlindungan dari bencana; Habilitasi dan rehabilitasi; Konsesi; Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; Berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi; Berpindah
tempat dan kewarganegaraan; dan hak Bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. Jika hak-hak ini dapat dipenuhi negara dan masyarakat, maka kita akan menyaksikan hadirnya keadilan dalam kerangka GEDSI yakni gender, equity, disability and social inclusion. (*)
Post Views: 51
Adblock test (Why?)
Berdasarkan pemahaman umum bahwa disabilitas masih dipandang sebagai kondisi congenital (bawaan sejak lahir), sehingga perhatian masyarakat bahkan sebagian aparatur pemerintah masih membatasi kategori disabilitas dan masih kurang peduli. Tantangan lainnya adalah bahwa terdapat lebih banyak lagi warga masyarakat yang mengalami disabilitas akibat post syndrome.
Faktanya banyak saudara kita yang mengalami disabilitas setelah menghadapi peristiwa kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan penerbangan, kapal laut dan lainnya.
Data POLRI tahun 2002 jumlah kasus kecelakaan lalu lintas rata-rata 28.000 kasus, dengan keberagaman jenis
kecelakaan seperti kecelakaan tunggal, motor crash motor, kecelakaan bus, kecelakaan beruntun dan kecelakaan
menonjol. Data ini konsisten hingga 2012. Jika setiap kasus kecelakaan timbul korban luka berat (patah tulang,
kaki, tangan, benturan kepala) 4 orang, maka setiap tahun jumlah disabilitas post syndrome laka lantas mencapai
112.000 jiwa. Selanjutnya ada beberapa saudara kita yang sebelumnya hidup normal dan sehat, namun tiba-tiba
mengalami disabilitas post syndrome setelah sakit, seperti sakit stroke, parkinson, alzhemir dan sakit lainnya.
Berdasarkan data tahun 2018 jumlah penderita sakit Parkinson di Indonesia mencapai 60.000 jiwa, kurang dari 1%
yang dinyatakan sembuh. Pada umumnya penderita sakit Parkinson mengalami TRAP (Tremor, Rigidity, Akinesia, Postural balance) dan ditandai dengan movement disorder. Secara global diperkirakan 15% warga dunia atau 1 milyar jiwa mengalami keterbatasan (menyandang disabiitas). Di Indonesia diperkirakan 23,6 juta jiwa
menyandang disabilitas. Kewajiban pemerintah adalah memenuhi hak penyandang disabilitas dalam kerangka
GEDSI; Gender, Equity, Disability and Social Inclussion.
Keywords: disabilitas, UU No 8 tahun 2016, post syndrome, congenital, hak penyandang disabilitas, GEDSI.
Pengertian Penyandang Disabilitas
Pengertian Penyandang Disabilitas menurut Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dengan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai keberadaan regulasi ini sangat membantu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, namun masalah
data,verivali,adminduk dan penjangkauan serta belum terintegrasinya system layanan social merupakan agenda penting dimasa depan.
Peneliti dan penulis multidisipliner, pernah menjadi staf ahli A-DPR-RI Komisi 3, komisi 6 dan Komisi 7 tahun 2007-2009, 2014-2015. Konsultan DFAT Kemensos program SLRT tahun 2016-2019. Menderita disabilitas fisik, TRAP dan movemet disorder sejak April 2019 akibat sakit Parkinson.
Ketua Dewan Pendiri Asosiasi Penyandang Disabilitas Post Syndrome di Indonesia. Hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Menurut UU No 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Sehingga mengacu pada pengertian tersebut, penyandang disabilitas diakui sebagai bagian integral dari masyarakat yang tidak terpisahkan dari anggota masyarakat lainnya.
Penyandang disabilitas mempunyai
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama sebagai warga negara. Penyandang disabilitas merupakan aset negara bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri sebagaimana manusia lainnya. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki penyandang disabilitas dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa sejak lahir, maupun paska sakit/kecelakaan.
Keragaman jenis disabilitas
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Ragam Disabilitas dibagi menjadi empat, yaitu:
A. Penyandang disabilitas fisik
Disabilitas ini berhubungan dengan kerusakan atau kelainan pada tulang, sendi, dan otot/sistem syaraf. Secara garis besar disabilitas fisik terdiri atas:
1. Disabilitas Tubuh/Daksa
Disabilitas tubuh/daksa adalah kehilangan anggota tubuh akibat kecelakaan, sakit dan amputasi. Contohnya adalah:
a. Celebral palsy (kerusakan fungsi otak yang menyebabkan gangguan pergerakan, keseimbangan dan kejang otot), yang terdiri dari: Hemiplegia (gangguan pada fungsi separuh/sebagian gerak pada bagian kanan atau kiri tubuh)
b. Diplegia (gangguan minimal pada fungsi gerak bagian atas tubuh dan domain pada ekstremitas gerak bawah tubuh), Quadryplegia (kelumpuhan pada tangan dan kaki secara keseluruhan)
c. Polio (kelainan pada anggota tubuh seperti kaki kecil sebelah atau lumpuh sebagai akibat terserang virus polio)
d. Meninghitis (peradangan pada otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak sehingga anak mengalami kecacatan seperti lumpuh, kemunduran mental)
e. Muscular Distropy (pengecilan/pengerutan otot karena masalah genetik)
f. Multiple scelerosis (layuh otot)
g. Spinabifida (kelainan pada hidrocepalus dan kelemahan/ kelumpuhan pada kedua tungkai yang disertai dengan gangguan lainnya)
Karakteristik sosial psikologis penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis antara lain:
Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection; Rendah diri; Kurang percaya diri, mengisolir diri; emosional labil; Cenderung hidup senasib; Agresif; ada perasaan tidak aman; Cepatvmenyerah; Apatis; Kekanak-kanakan dan Melakukan mekanisme pertahanan diri.
2. Disabilitas Netra (penglihatan)
Disabilitas netra adalah individu yang mengalami gangguan penglihatan secara total maupun sebagian. Dan di bagi menjadi dua: (a) Total blind/buta total (kehilangan kemampuan penglihatan secara total); (b) Low vision/kurang awas pada jarak pandang tertentu atau masih memiliki sisa penglihatan disabilitas
3. Disabilitas Rungu-Wicara
Disabilitas rungu yaitu individu yang mengalami kerusakan alat dan organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi atau suara. Disabilitas wicara yaitu individu yang mengalami kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara serta produksi suara. Adapun ciri-cirinya
adalah: 1) tidak dapat memproduksi suara atau bunyi; 2) kurang atau tidak menguasai perbendaharaan kata; 3) gagap/ starting; dan 4) berkomunikasi dengan menggunakan gerakan tubuh atau simbol.
Sedangkan Rungu wicara yaitu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan berbahasa yangvdisebabkan karena kerusakan alat dan organ pendengaran sehingga individu tidak mengenal cara mempergunakan organ bicara dan tidak mengenal konsep bahasa. Penyandang disabilitas rungu wicara, yang terdiri dari cacat rungu total dan kurang dengar, memiliki karakteristik Pada waktu bicara, tidak jelas kata/ kalimat yang diucapkan.
B. Penyandang Disabilitas Intelektual
Mencakup berbagai kekurangan intelektual. Contohnya, anak yang mengalami down syndrome.
C. Penyandang Disabilitas Mental4
Disabilitas mental mengacu pada ketidakberfungsian intelektual yang disertai ketidakmampuan adaptasi
perilaku dan terjadi selama masa perkembangan. Kemampuan perilaku (menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V-TR), Menurut gangguan perkembangan ADD/ADHD (Attention deficit disorder/attention deficit hyperactivity disorders), gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas)
D. Penyandang Disabilitas Sensorik
Disabilitas mental mengacu pada ketidakberfungsian intelektual yang disertai ketidakmampuan adaptasi
perilaku dan terjadi selama masabperkembangan. Tidak jarang saat anak balita mengalami demam tinggi dan kejang, namun orang tuanya salah penanganan dan berakibat anak menjadi disabilitas bahkan sampaivfatalitas. Sebagai contoh aktual 10 Februari 2021 seorang ibu melahirkan anak dengan kondisi sehat dan seringkali terjadi kesalahan dan/atau ketidaktahun pada orang-orang terdekat dan anggota keluarga mengenai tata laksana penanganan penyandang disabilitas intelektual maupun jenis disabilitas lalinnya. Karena itu penulis mengajak peneliti, akademisi, para medis dan pemerhati kesehatan untuk kolaborasi membuat pedoman tata laksana penanganan seluruh jenis disabilitas secara komprehensif.
4 Perhatian dari keluarga dan orang terdekat dengan penuh kasih sayang sangat dibutuhkan, pemahaman
masyarakat dan lingkungan sosial juga penting. normal. Namun anggota keluarganya memandikan sang bayi diusia hari ke-empat dengan air dingin
dimana cuaca musim hujan di Bogor. Akibatnya fatal, anak balita sakit dan kemudian tidak terselamatkan.
Baca Juga Lagi, 49 Orang Terpapar Covid, Termasuk 9 Balita dan 3 Anak-anak
Tingkatan Disabilitas
1. Penyandang disabilitas berat adalah penyandang disabilitas yang kedisabilitasannya sudah tidak dapat
direhabilitasi, tidak dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dan/atau sepanjang hidupnya tergantung pada bantuan orang lain, dan tidak mampu menghidupi diri sendiri.
2. Penyandang disabilitas sedang adalah orang yang mengalami kelainan fisik, mental (mampu latih), fisik dan mental (ganda) misalnya keadaan tubuh dengan amputasi dua tangan atas siku, amputasi kaki atas lutut, atas paha, tuna rungu, tuna netra, dan sebagainya. Penyandang disabilitas tersebut selain mampu
melakukan aktivitas sehari-hari sendiri dan tidak sepenuhnya memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi.
3. Penyandang disabilitas ringan adalah orang yang mengalami kelainan fisik, mental (mampu didik dan mampu latih) misalnya keadaan tubuh dengan amputasi tangan atau kaki, salah satu kaki layuh, tangan/kaki bengkok. Penyandang disabilitas tersebut masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari
sendiri dan tidak memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda atau multi dalam jangka waktu lamavyang ditetapkan oleh tenaga medis. Penyandang disabilitas ganda adalah seseorang yang menyandang lebih dari satu disabilitas.
Pola Penanganan penyandang disabilitas di dalam keluarga dikenal juga Rehabilitasi Berbasis Keluarga (RBK).
Pengasuhan yang baik bagi penyandang disabilitas adalah dengan cara: Pertama; Mengikuti prosesbperkembangan anak (apabila masih usia anak), kedua; Memberikan perawatan dasar, misalnya: makanan, pakaian, alas tidur, Memberikan nutrisi tambahan (untuk anak yang kekurangan nutrisi), Selalu mengganti pakaian yang bersih, Menjemur anak agar mendapatkan sinar matahari yang cukup, Menjaga kesehatan (pemeriksaan rutin ke Puskesmas dan patuh obat), ketiga; Memberikan kasih sayang dan perhatian, keempat; Memberikan rasa aman dan nyaman, kelima; Memberikan stimulasi, misalnya diajak bicara,
merespon keinginan, keenam; Memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas berat untuk tetap
memperoleh pelayanan sosial dasar (akte kelahiran, kesehatan), ketujuh; Memberikan kesempatan berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal, kedelapan; Penyandang disabilitas diasuh oleh keluarga inti, kesembilan; Memberikan bimbingan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) terhadap Penyandang Disabilitas Berat
Masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas
Berat. Unsur masyarakat diharapkan dapat: pertama; Membantu jika ada penyandang disabilitas berat yang membutuhkan pertolongan/bantuan, kedua; Memberi kemudahan penyandang disabilitas berat untuk mendapat kemudahan dalam penggunaan sarana/prasarana umum di masyarakat. Ketiga; Memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti kegiatan kemasyarakatan di lingkungan, keempat; Memberikan informasi jika terdapat keluarga dan/ penyandang disabilitas
memerlukan infomasi rujukan, kelima; Menghimbau kepada keluarga yang memiliki penyandang disabilitas berat agar penyandang disabilitas berat terpenuhi haknya. Keenam; Menginformasi kepada pihak terkait/tokoh masyarakat jika terdapat penyandang disabilitas berat yang belum mendapatkan hak-haknya.
Baca Juga WASPADA CUKAI PALSU, PENGEDAR DAN PENJUAL DIANCAM PIDANA
Peran Pemerintah UNCRPD dan Regulasi/Peraturan terkait yang Mendukung Pemberian Sistem Perlindungan Sosial yang Inklusif. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau yang dikenal dengan United Nation Convention of Rights of People with Disability (UNCRPD), yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2011 menetapkan bahwa individu penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengakses perlindungan sosial
tanpa diskiriminasi. Secara khusus, konvensi tersebut menyatakan bahwa sistem perlindungan sosial harus memastikan standar hidup yang layak dan perlindungan dari kemiskinan, membantu mengurangi beban pengeluaran terkait kondisi disabilitas individu dan memastikan akses yang layak serta layanan yang terjangkau, alat bantu atau bantuan lain untuk kebutuhan terkait kondisi disabilitas seseorang memberikan dukungan kepada anak penyandang disabilitas dan keluarganya, dengan perhatian yang
spesifik kepada perempuan dengan disabilitas memastikan inklusivitas dan partisipasi dan individu penyandang disabilitas.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas telah memberikan kerangka hukum agar sistem perlindungan sosial yang komprehensif bagi penyandang disabilitas dimasukkan dalam beberapa pasal yang ada; misalnya terkait
kesejahteraan sosial (pasal 17 dan 90-96), artikel terkait hidup secara mandiri dan keterlibatan dalamvmasyarakat (pasal 23), konsesi (pasal 114-116), perempuan dan anak (Pasal 5 dan 126), adalah beberapa pasal yang terkait dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang No. 8 tahun 2016 juga mendorong agar UU No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN, dan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan No. 20 tahun 2006 mengenai Petunjuk Penyaluran dan Pencairan Dana Jaminan Sosial Penyandang Cacat bagi Penyandang Cacat Berat dan Jaminan Sosial Lanjut Usia bagi Lanjut Usia Terlantar, dapat memberikan perlindungan sosial yang komprehensif bagi penyandang disabilitas.
Peran Komunitas Internasional
Bukti-Bukti adanya perhatian komunitas Internasional dapat dipelajari dari Negara-negara yang Melaksanakan Sistem Perlindungan Sosial secara Komprehensif. Menurut laporan ILO tahun 2015 ILO World Report on Social Protection, 60 negara secara global telah melaksanakan kombinasi dari manfaat
disabilitas melalui skema kontribusi dan non-kontribusi. Beberapa tahun terakhir, banyak negara yang mulai menyadari bahwa skema bantuan sosial bagi masyarakat miskin seharusnya dapat lebih responsif terhadap penyandang disabilitas, seperti Indonesia, Zambia dan Filipina. Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya seperti Georgia, Afrika Selatan, Bangladesh, Kenya dan Fiji juga mulai
mengembangkan bantuan/tunjangan spesifik bagi penyandang disabilitas melalui skema non-kontribusi.
Nepal dan Vietnam sebagai contoh juga memberikan sistem perlindungan sosial yang cukup komprehensif bagi penyandang disabilitas, dengan mengkombinasikan skema disabilitas melalui jaminan sosial; nonkontribusi dan bantuan disabilitas tanpa syarat bagi anak dan individu disabilitas dewasa, serta secara paralel juga terus mengembangkan konsesi yang bermanfaat seperti untuk pendidikan, layanan transportasi, dan kesehatan secara gratis.
Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Secara global, sekitar 15 persen (1 milyar jiwa) populasi dunia mengalami/memiliki kondisi disabilitas
dimana prevalansi di negara – negara berkembang pada umumnya lebih tinggi. Penyandang disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi dan mengalami keterbatasan kesempatan untuk mengakses fasilitas pendidikan, kesehatan, nutrisi, kemungkinan kesempatan bekerja yang lebih sedikit daripada mereka yang tidak memiliki disabilitas serta pada umumnya berada pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.
Data nasional Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 menunjukkan bahwa jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia adalah sekitar 9 persen (23,3 juta jiwa)
Penyandang disabilitas di Indonesia juga masih memiliki tantangan untuk mengakses beberapa layanan dasar seperti akte kelahiran, pendidikan, kesehatan termasuk jaminan kesehatan, dan kesulitan untuk memasuki pasar kerja dan lapangan kerja.
Di beberapa tempat, penyandang disabilitas masih banyak yang berada dalam kondisi ditelantarkan, ditinggalkan, diskriminasi, atau bahkan banyak yang mengalami perlakuan salah lainnya seperti kekerasan seksual dan eksploitasi karena kedisabilitasan yang dimilikinya. Para penyandang disabilitas kerap menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan hal itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tindakan
tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, dimana mereka tinggal dan budaya yang berlaku di tempat tersebut.
Namun ada juga segelintir penyandang disabilitas yang produktif, bahkan mampu membuka kesempatan kerja bagi warga normal/non-disabilitas.
Pemerintah di beberapa negara mencoba memperjuangkan hak-hak para penyandang disabilitas dengan
bersama-sama menetapkan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD)/Convention on the Rights of
Persons with Dissabilities (CRPD). Konvensi ini dibuat agar para penyandang disabilitas bisa menikmati
hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa pun.
Selain itu, konvensi ini juga menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya di Indonesia, hak-hak penyandang disabilitas diatur di dalam UU No. 8 Tahun 2016 yang meliputi: Hak Hidup; Bebas dari stigma; Privasi;
Keadilan dan perlindungan hukum; Pendidikan; Pekerjaan, kewirausahaan, koperasi; Kesehatan; Politik;Keagamaan; Keolahragaan; Kebudayaan dan pariwisata; Kesejahteraan sosial; Aksesibilitas; Pelayanan public; Perlindungan dari bencana; Habilitasi dan rehabilitasi; Konsesi; Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; Berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi; Berpindah
tempat dan kewarganegaraan; dan hak Bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. Jika hak-hak ini dapat dipenuhi negara dan masyarakat, maka kita akan menyaksikan hadirnya keadilan dalam kerangka GEDSI yakni gender, equity, disability and social inclusion. (*)
Post Views: 51
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar