Urgensi Pelestarian Bahasa Daerah dan Antisipasi Menteri Nadiem

ProSumbawa Oleh: Amilan Hatta *)


Bahasa, sebagai pilar kebudayaan memiliki peran sentral dalam mempertahankan identitas dan norma sebuah masyarakat. Kehilangan bahasa daerah tidak hanya mengancam keberagaman linguistik, tetapi juga potensial menghapuskan norma dan nilai-nilai budaya. Keberlanjutan bahasa daerah semakin menjadi perhatian serius dan melalui pengalaman sehari-hari, kesadaran akan risiko kehilangannya semakin nyata.


Merujuk pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam episode ketujuh belas serial video Merdeka Belajar cukup mengundang rasa prihatin bagi kita semua. Nadiem menyebutkan bahwa saat ini penutur jati bahasa daerah sebagian besar tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasa ke generasi berikutnya. Hal ini akan berimbas pada ancaman punahnya kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan kita akan bahasa daerah.


Seirama dengan Nadiem, berdasarkan catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, terdapat 25 bahasa dari total 718 bahasa daerah di Indonesia terancam punah, 6 berstatus kritis, bahkan 11 di antaranya telah dinyatakan punah. Setali tiga uang, berdasarkan catatan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizatio (UNESCO ), dalam dua pekan terdapat satu bahasa daerah dari 7000-an bahasa daerah di dunia yang punah.


Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa setidaknya menentukan enam kategori untuk menentukan tingkat vitalitas bahasa daerah. Vitalitas merupakan intensitas penggunaan dan eksistensi sebuah bahasa sebagai alat komunikasi dalam berbagai konteks sosial untuk tujuan tertentu. Vitalitas bahasa diukur dari jumlah penutur dan variasi penggunaannya.


Keenam kategori vitalitas bahasa daerah tersebut, pertama, aman jika semua anak dan semua orang dalam etnik masih menggunakannya. Kedua, stabil tetapi terancam punah apabila semua anak-anak dan kaum tua menggunakan, tetapi jumlah penutur sedikit. Ketiga, mengalami kemunduran apabila sebagian penutur anak-anak dan kaum tua dan sebagian anak-anak lain tidak menggunakan.


Keempat, terancam punah apabila semua penutur 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. Kelima, kritis apabila penuturnya 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. keenam, punah apabila tidak ada lagi penuturnya.


Akar Masalah Punahnya Bahasa Daerah dan Dampaknya
Baca Juga  Telat, Akhirnya BOS Triwulan I 2019 Cair

Berdasarkan enam kategori di atas, faktor utama penyebab suatu bahasa daerah punah adalah hilangnya para penutur. Artinya, bahasa tersebut sudah tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa ambil contoh, misalnya bahasa Tandia dari Papua Barat, bahasa Mawes dari Papua, dan bahasa Ternateno dari Maluku Utara (CNN Indonesia, Juni 2022). Bahasa-bahasa tersebut sudah kehilangan penuturnya, sehingga dinyatakan punah.


Hilangnya penutur tersebut disebabkan oleh bermacam faktor. Menurut Setianingsih (2018), menguatnya kedudukan bahasa Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab punahnya bahasa daerah. Seperti yang kita lihat di lingkungan sekitar, sejak anak lahir, orangtua mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anaknya. Akibatnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu bagi anak-anak, bukan lagi bahasa daerah.


Ambil contoh untuk etnik Sumbawa Provinsi NTB misalnya, kita mendengar setidaknya untuk panggilan kepada orang tua kita yang kita ajarkan kepada anak-anak kita yang sebenarnya kita memiliki simbol/identitas etnik dengan penyebutan kata Abe atau Papin, namun kerap kali sebagian kita mengajarkan anak-anak kita dengan panggilan kakek-nenek untuk memanggil orang tua kita oleh cucunya. Fenomena ini juga banyak kita lihat di kelompok etnik-etnik lain yang sejatinya memiliki panggilan identitas masing-masing, misalnya papuq di Lombok atau Opung di etnik Batak.


Faktor lainnya menurut Setianingsih dan juga Budiarto (2020) adalah globalisasi. Lebih khususnya, meminjam istilah Budiarto, punahnya bahasa daerah disebabkan terjadinya cultural invation (invasi budaya). Akselerasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan pertukaran dan perjumpaan budaya menjadi kian cepat dan intens. Lemahnya filter oleh para netizen (pengguna internet) terhadap pengaruh budaya asing menjadi pemicu luruhnya kesadaran budaya yang pada hakikatnya merupakan jati diri mereka.


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah. Berdasarkan data yang diberikan Kemendikbudristek, Provinsi Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah yakni sebanyak delapan bahasa. Sementara itu, tiga bahasa lainnya berasal dari Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.


Punahnya suatu bahasa daerah berarti punah pula warisan nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Padahal nilai-nilai luhur ini penting bagi kelangsungan eksistensi bangsa Indonesia. Bila tidak segera dilakukan upaya serius, punahnya bahasa daerah ini kelak di kemudian hari akan menjadi ancaman serius bagi identitas nasional dan semangat kebangsaan. Bila dua hal ini melemah, maka nasionalisme dan rasa cinta Tanah Air pun akan turut melemah.
Baca Juga  Pansus DPRD Soroti Lemahnya Peserta Didik Nyanyikan Lagu Kebangsaan Nasional

Upaya Yang Telah Dilakukan Kemendikbudristek


Kemendikbudristek tidak tinggal diam menghadapi krisis yang dialami bahasa daerah tersebut. Kebijakan menteri Nadiem telah meluncurkan program revitalisasi bahasa daerah yang menerapkan prinsip dinamis, adaptif, regenerasi, dan merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya. Sasaran dari program tersebut adalah 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah.


Selain itu, Kemendikbudristek juga melibatkan secara intensif keluarga, para maestro, dan pegiat pelindungan bahasa dan sastra dalam penyusunan model pembelajaran bahasa daerah, pengayaan materi bahasa daerah dalam kurikulum, dan perumusan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan (kemdikbud.go.id, 2022).


Mengutip Siaran Pers Kemendikbudristek Nomor: 62/sipers/A6/III/2024 tanggal 7 Maret 2024 terkait Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD), terdapat 217 kabupaten dan 9 kota di 26 provinsi melaksanakan revitalisasi bahasa daerah selama tahun 2023, 72 bahasa daerah/dialek yang sudah direvitalisasi selama tahun 2023, sebanyak 22.934 sekolah SD/SMP dan 511 komunitas terlibat dalam RBD 2023, 4.158.656 siswa SD dan SMP terlibat dalam pembelajaran bahasa daerah selama tahun 2023, 96.388 pengawas, kepala sekolah, dan guru aktif terlibat RBD selama tahun 2023, 14.317 pegiat Bahasa/sastra daerah berpartisipasi dalam RBD selama tahun 2023, 1.696 Perwakilan pemerintah daerah dan Lembaga yang terlibat dalam RBD selama tahun 2023, serta 751.429 partisipan FTBI selama tahun 2023.


Selain program terstruktur dan sistematis sebagaimana telah dilakukan oleh Kemendikbud di atas, kesadaran dari masyarakat atau etnis penutur bahasa daerah juga memainkan peran penting. Momentum masa transisi peralihan rezim pemerintahan tahun 2024 ini, mestinya mampu menggugah kita untuk merenungkan kembali pentingnya bahasa, dalam hal ini bahasa daerah, sebagai salah satu identitas dan jati diri bangsa.


*) Direktur Eksekutif Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR)

Post Views: 134


Adblock test (Why?)

Komentar