ProSumbawa Oleh: Johan Wahyudi
Dosen Tetap Prodi Ilmu Politik sekaligus Sekretaris Departemen Politik, Pemerintahan, dan Hubungan Internasional (PPHI), FISIP, Universitas Brawijaya, Malang, asal Sumbawa
Kurang lebih satu bulan lagi, masa kampanye segera berakhir dan disambut hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Usai pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi hasil perhitungan suara maka hasil perjuangan 269 calon anggota legislatif (caleg) yang bertarung di pemilu 2024 untuk berebut 25 kursi parlemen Sumbawa Barat akan segera terungkap. Begitu pula dengan pemenang pemilu di Sumbawa Barat juga akan diketahui dari akumulasi perolehan suara para caleg dan suara partai.
Sembari menanti Hari-H pencoblosan, menarik mencermati satu isu penting yang relatif jamak terjadi di Indonesia dalam setiap masa pemilu yakni politik uang. Tajuk Rencana Kompas (11/8/2023) mengulas bagaimana politik uang sebagai isu lama yang masih harus menjadi perhatian serius semua pihak, terutama elite politik. Sebab dampak serius politik uang menyebabkan tingginya biaya politik.
Temuan disertasi Pramono Anung tahun 2013 mengonfirmasi bagaimana besarnya biaya untuk menjadi anggota DPR yang sampai menyentuh angka belasan miliar. Sementara kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri tahun 2015 menyebutkan butuh Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota serta Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar untuk pemilihan gubernur.
Merujuk catatan Burhanuddin Muhtadi (2023), pada Pemilu 2014 terdapat 187 juta pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan dari jumlah tersebut, antara 25% hingga 33% pemilih terpapar praktik haram politik uang. Jika dikonversi, 33% itu setara 62 juta orang Indonesia yang pernah ditawari politik uang. Atas dasar itu, Pemilu 2014 disebut banyak pihak sebagai pemilu paling brutal dalam sejarah pemilu legislatif di Indonesia karena praktik politik uang banyak terjadi mulai dari pemilihan DPRD tingkat II (kabupaten/kota), disusul DPRD tingkat I (provinsi), dan DPR RI (Lembaga Survei Indonesia, 2014).
Bergeser ke pemilu 2019, apakah politik uang berkurang? Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia dan Australian National University bulan Mei 2019 menemukan aktivitas politik uang terjadi secara masif dalam Pemilu 2019. Terdapat sekitar 37,3 juta hingga 63,5 juta pemilih yang terpapar politik uang dari total 192 juta DPT. Mengacu hasil riset Muhtadi (2019), tingginya kisaran angka politik uang menempatkan Indonesia (33%) menjadi negara tertinggi ketiga setelah Uganda (41%) dan Benin (37%) dalam praktik politik uang saat pemilu. Temuan riset Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan sebanyak 72 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah terpapar politik uang pada Pemilu 2019.
Kekhawatiran Caleg Muda Sumbawa Barat? Beralasan tapi Harus Optimis
Menjelang hari pencoblosan Pemilu 2024, kekhawatiran terhadap brutalitas politik uang juga menjadi perhatian bersama terutama caleg muda yang akan berkompetisi melawan caleg petahana yang punya banyak sumber daya. Salah seorang caleg muda potensial, Unang Silatang, misalnya, menyebut bahwa praktik politik uang yang tinggi di Sumbawa Barat bahkan hingga angka jutaan per orang telah menjadi rahasia umum. Itu sebabnya ia mengusulkan agar ada debat antar caleg di Sumbawa Barat sebagai salah satu ikhtiar memangkas praktik tersebut. Selain itu, saran debat juga bisa dimaknai sebagai sarana menunjukkan kualitas caleg (Samawarea.com, 30/12/2023).
Baca Juga Penerima Manfaat Desa Berdaya Binaan Rumah Zakat Mulai Mandiri
Keresahan ihwal politik uang sangat beralasan. Kabar yang beredar di tengah masyarakat Sumbawa Barat menyebutkan ada sejumlah oknum caleg yang siap membeli suara pemilih mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per suara (KMCNews, 10/8/2023). Di sisi lain, temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan perihal uang ilegal senilai triliunan rupiah yang masuk ke Indonesia, juga bisa menjadi salah satu indikasi awal politik uang. Belum lagi biaya kampanye dan operasional yang besar sebagai konsekuensi sistem pemilu proporsional terbuka yang tidak hanya mendorong caleg bersaing dengan caleg eksternal tetapi juga dengan sesama caleg internal adalah alasan selanjutnya.
Meski Sumbawa Barat tidak termasuk daerah rawan politik uang seperti Kota Bima, Kabupaten Bima hingga Dompu sebagaimana hasil pemetaan Bawaslu Provinsi NTB, namun potensi praktik uang wajib diwaspadai (SuaraNTB, 16/12/2023). Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilu 2024 yang dirilis Bawaslu RI (2023), setidaknya terdapat tiga modus utama yang kerap dipraktikkan dalam operasi politik uang; memberikan uang secara langsung, baik uang fisik maupun uang elektronik (termasuk voucher), memberikan barang, serta memberikan janji. Keseluruhan modus ini ditengarai kerap terjadi di hampir semua tahapan pemilu.
Di tengah bayang-bayang ancaman potensi politik uang pada pemilu 2024, para caleg muda harus optimis bahwa Pemilu 2024 ini milik generasi muda Sumbawa Barat. Sebab dari total 102.422 DPT Pemilu 2024 di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tercatat sebanyak 34.877 (34.1%) pemilih berasal dari segmen generasi Milenial dan 24.058 (23.5%) dari generasi Z (KPU KSB, 2023).
Apabila pemilih dari dua generasi ini dijumlahkan maka akan ketemu angka 58.935 (57.6%). Artinya, potensi generasi muda menjadi penentu dalam arena kontestasi pemilu 2024 sangat besar. Apalagi jika suara mereka bisa dititipkan kepada para caleg seusia mereka yang telah teruji dari petahana maupun caleg potensial lain yang baru bertarung pada Pemilu 2024 ini.
Tanpa bermaksud mendikotomikan dengan generasi Baby Boomers dan generasi X (Gen X), eksistensi pemilih serta keberadaan caleg dari generasi Y (Milenial) dan generasi Z (Gen Z) merupakan peluang besar bagi masa depan Sumbawa Barat untuk melakukan lompatan berpikir. Kaum muda bisa menawarkan gagasan otentik untuk memutus praktik kotor dalam politik selama ini. Sejatinya, kaum muda hendaklah mampu menjadi pembeda di tengah gempuran masifnya peredaran uang dalam pemilu. Meski akan berhadapan dengan tebalnya tembok biaya politik, caleg muda Sumbawa Barat patut optimis.
Baca Juga Perbaiki Proses Demokrasi, KPU Sumbawa Gandeng Komunitas
Optimisme bukanlah omong kosong, karena di pemilu 2024 eksistensi pemilih muda mendominasi DPT secara nasional dan DPT KSB khususnya. Tidak hanya dominan, antusiasme kaum milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024 juga sangat tinggi. Hal ini diperkuat hasil survei tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia Media bersama dengan Litbang Kompas yang menunjukkan sebanyak 86,7 persen dari mereka akan ikut pemilu. Sedangkan 10,7 persen masih menimbang untuk ikut pemilu dan hanya 2,6 persen yang menyatakan menolak ikut pemilu (Kompas, 6/5/2023). Karenanya, para caleg muda Sumbawa Barat wajib memanfaatkan momentum elektoral 2024.
Catatan Penutup
Politik uang memang menjadi ancaman dalam politik Indonesia mulai dari hulu hingga hilir. Mengutip Hartono (2023), proses pemilu tercemar sejak di hulu manakala suara rakyat telah dibeli dengan uang maupun sumber daya material lainnya. Hal ini pula yang mendorong mahalnya biaya politik. Sementara di hilir, politik uang menjadi salah satu penyebab utama dari praktik korupsi dan bahkan kerap disebut sebagai induk korupsi (mother of corruption). Pada praktiknya, caleg terpilih hasil politik uang biasanya akan fokus untuk mengembalikan ongkos politik daripada fokus bekerja untuk masyarakat.
Oleh sebab itu, caleg muda Sumbawa Barat selayaknya memanfaatkan kesempaan baik Pemilu 2024 untuk menunjukkan kapasitas sekaligus membuktikan bahwa isi tas bukanlah satu-satunya faktor penentu jalan menuju gedung parlemen di Bertong. Apabila modal finansial terbatas, maka modal sosial bisa dimaksimalkan caleg muda untuk menggugah hati pemilih. Selain itu, pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi untuk menyasar segmen generasi milenial dan Gen Z akan turut membantu.
Terakhir, waspada terhadap potensi terjadinya politik uang di Pemilu 2024 adalah keharusan. Semua caleg termasuk caleg muda berkewajiban menjaga demokrasi Indonesia dengan cara tidak melanjutkan praktik politik uang sebagai strategi shortcut meraih suara. Jangan lagi menormalisasi pemilu sebagai musim panen uang (season of money), meminjam istilah Corstange (2012). Pada saat yang sama, ke depan perlu penguatan literasi politik bagi pemilih agar memiliki kerangka berpikir yang sama bahwa politik uang adalah ilegal. Kehadiran caleg muda dalam arena diharapkan tidak hanya sebagai penggembira tetapi juga bisa menjadi pemain utama. Wallahualam.. (*)
Post Views: 251
Adblock test (Why?)
Dosen Tetap Prodi Ilmu Politik sekaligus Sekretaris Departemen Politik, Pemerintahan, dan Hubungan Internasional (PPHI), FISIP, Universitas Brawijaya, Malang, asal Sumbawa
Kurang lebih satu bulan lagi, masa kampanye segera berakhir dan disambut hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Usai pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi hasil perhitungan suara maka hasil perjuangan 269 calon anggota legislatif (caleg) yang bertarung di pemilu 2024 untuk berebut 25 kursi parlemen Sumbawa Barat akan segera terungkap. Begitu pula dengan pemenang pemilu di Sumbawa Barat juga akan diketahui dari akumulasi perolehan suara para caleg dan suara partai.
Sembari menanti Hari-H pencoblosan, menarik mencermati satu isu penting yang relatif jamak terjadi di Indonesia dalam setiap masa pemilu yakni politik uang. Tajuk Rencana Kompas (11/8/2023) mengulas bagaimana politik uang sebagai isu lama yang masih harus menjadi perhatian serius semua pihak, terutama elite politik. Sebab dampak serius politik uang menyebabkan tingginya biaya politik.
Temuan disertasi Pramono Anung tahun 2013 mengonfirmasi bagaimana besarnya biaya untuk menjadi anggota DPR yang sampai menyentuh angka belasan miliar. Sementara kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri tahun 2015 menyebutkan butuh Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota serta Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar untuk pemilihan gubernur.
Merujuk catatan Burhanuddin Muhtadi (2023), pada Pemilu 2014 terdapat 187 juta pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan dari jumlah tersebut, antara 25% hingga 33% pemilih terpapar praktik haram politik uang. Jika dikonversi, 33% itu setara 62 juta orang Indonesia yang pernah ditawari politik uang. Atas dasar itu, Pemilu 2014 disebut banyak pihak sebagai pemilu paling brutal dalam sejarah pemilu legislatif di Indonesia karena praktik politik uang banyak terjadi mulai dari pemilihan DPRD tingkat II (kabupaten/kota), disusul DPRD tingkat I (provinsi), dan DPR RI (Lembaga Survei Indonesia, 2014).
Bergeser ke pemilu 2019, apakah politik uang berkurang? Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia dan Australian National University bulan Mei 2019 menemukan aktivitas politik uang terjadi secara masif dalam Pemilu 2019. Terdapat sekitar 37,3 juta hingga 63,5 juta pemilih yang terpapar politik uang dari total 192 juta DPT. Mengacu hasil riset Muhtadi (2019), tingginya kisaran angka politik uang menempatkan Indonesia (33%) menjadi negara tertinggi ketiga setelah Uganda (41%) dan Benin (37%) dalam praktik politik uang saat pemilu. Temuan riset Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan sebanyak 72 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah terpapar politik uang pada Pemilu 2019.
Kekhawatiran Caleg Muda Sumbawa Barat? Beralasan tapi Harus Optimis
Menjelang hari pencoblosan Pemilu 2024, kekhawatiran terhadap brutalitas politik uang juga menjadi perhatian bersama terutama caleg muda yang akan berkompetisi melawan caleg petahana yang punya banyak sumber daya. Salah seorang caleg muda potensial, Unang Silatang, misalnya, menyebut bahwa praktik politik uang yang tinggi di Sumbawa Barat bahkan hingga angka jutaan per orang telah menjadi rahasia umum. Itu sebabnya ia mengusulkan agar ada debat antar caleg di Sumbawa Barat sebagai salah satu ikhtiar memangkas praktik tersebut. Selain itu, saran debat juga bisa dimaknai sebagai sarana menunjukkan kualitas caleg (Samawarea.com, 30/12/2023).
Baca Juga Penerima Manfaat Desa Berdaya Binaan Rumah Zakat Mulai Mandiri
Keresahan ihwal politik uang sangat beralasan. Kabar yang beredar di tengah masyarakat Sumbawa Barat menyebutkan ada sejumlah oknum caleg yang siap membeli suara pemilih mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per suara (KMCNews, 10/8/2023). Di sisi lain, temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan perihal uang ilegal senilai triliunan rupiah yang masuk ke Indonesia, juga bisa menjadi salah satu indikasi awal politik uang. Belum lagi biaya kampanye dan operasional yang besar sebagai konsekuensi sistem pemilu proporsional terbuka yang tidak hanya mendorong caleg bersaing dengan caleg eksternal tetapi juga dengan sesama caleg internal adalah alasan selanjutnya.
Meski Sumbawa Barat tidak termasuk daerah rawan politik uang seperti Kota Bima, Kabupaten Bima hingga Dompu sebagaimana hasil pemetaan Bawaslu Provinsi NTB, namun potensi praktik uang wajib diwaspadai (SuaraNTB, 16/12/2023). Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilu 2024 yang dirilis Bawaslu RI (2023), setidaknya terdapat tiga modus utama yang kerap dipraktikkan dalam operasi politik uang; memberikan uang secara langsung, baik uang fisik maupun uang elektronik (termasuk voucher), memberikan barang, serta memberikan janji. Keseluruhan modus ini ditengarai kerap terjadi di hampir semua tahapan pemilu.
Di tengah bayang-bayang ancaman potensi politik uang pada pemilu 2024, para caleg muda harus optimis bahwa Pemilu 2024 ini milik generasi muda Sumbawa Barat. Sebab dari total 102.422 DPT Pemilu 2024 di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tercatat sebanyak 34.877 (34.1%) pemilih berasal dari segmen generasi Milenial dan 24.058 (23.5%) dari generasi Z (KPU KSB, 2023).
Apabila pemilih dari dua generasi ini dijumlahkan maka akan ketemu angka 58.935 (57.6%). Artinya, potensi generasi muda menjadi penentu dalam arena kontestasi pemilu 2024 sangat besar. Apalagi jika suara mereka bisa dititipkan kepada para caleg seusia mereka yang telah teruji dari petahana maupun caleg potensial lain yang baru bertarung pada Pemilu 2024 ini.
Tanpa bermaksud mendikotomikan dengan generasi Baby Boomers dan generasi X (Gen X), eksistensi pemilih serta keberadaan caleg dari generasi Y (Milenial) dan generasi Z (Gen Z) merupakan peluang besar bagi masa depan Sumbawa Barat untuk melakukan lompatan berpikir. Kaum muda bisa menawarkan gagasan otentik untuk memutus praktik kotor dalam politik selama ini. Sejatinya, kaum muda hendaklah mampu menjadi pembeda di tengah gempuran masifnya peredaran uang dalam pemilu. Meski akan berhadapan dengan tebalnya tembok biaya politik, caleg muda Sumbawa Barat patut optimis.
Baca Juga Perbaiki Proses Demokrasi, KPU Sumbawa Gandeng Komunitas
Optimisme bukanlah omong kosong, karena di pemilu 2024 eksistensi pemilih muda mendominasi DPT secara nasional dan DPT KSB khususnya. Tidak hanya dominan, antusiasme kaum milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024 juga sangat tinggi. Hal ini diperkuat hasil survei tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia Media bersama dengan Litbang Kompas yang menunjukkan sebanyak 86,7 persen dari mereka akan ikut pemilu. Sedangkan 10,7 persen masih menimbang untuk ikut pemilu dan hanya 2,6 persen yang menyatakan menolak ikut pemilu (Kompas, 6/5/2023). Karenanya, para caleg muda Sumbawa Barat wajib memanfaatkan momentum elektoral 2024.
Catatan Penutup
Politik uang memang menjadi ancaman dalam politik Indonesia mulai dari hulu hingga hilir. Mengutip Hartono (2023), proses pemilu tercemar sejak di hulu manakala suara rakyat telah dibeli dengan uang maupun sumber daya material lainnya. Hal ini pula yang mendorong mahalnya biaya politik. Sementara di hilir, politik uang menjadi salah satu penyebab utama dari praktik korupsi dan bahkan kerap disebut sebagai induk korupsi (mother of corruption). Pada praktiknya, caleg terpilih hasil politik uang biasanya akan fokus untuk mengembalikan ongkos politik daripada fokus bekerja untuk masyarakat.
Oleh sebab itu, caleg muda Sumbawa Barat selayaknya memanfaatkan kesempaan baik Pemilu 2024 untuk menunjukkan kapasitas sekaligus membuktikan bahwa isi tas bukanlah satu-satunya faktor penentu jalan menuju gedung parlemen di Bertong. Apabila modal finansial terbatas, maka modal sosial bisa dimaksimalkan caleg muda untuk menggugah hati pemilih. Selain itu, pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi untuk menyasar segmen generasi milenial dan Gen Z akan turut membantu.
Terakhir, waspada terhadap potensi terjadinya politik uang di Pemilu 2024 adalah keharusan. Semua caleg termasuk caleg muda berkewajiban menjaga demokrasi Indonesia dengan cara tidak melanjutkan praktik politik uang sebagai strategi shortcut meraih suara. Jangan lagi menormalisasi pemilu sebagai musim panen uang (season of money), meminjam istilah Corstange (2012). Pada saat yang sama, ke depan perlu penguatan literasi politik bagi pemilih agar memiliki kerangka berpikir yang sama bahwa politik uang adalah ilegal. Kehadiran caleg muda dalam arena diharapkan tidak hanya sebagai penggembira tetapi juga bisa menjadi pemain utama. Wallahualam.. (*)
Post Views: 251
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar