MASJID MAKMUR JAMA’AH PUN MAKMUR

ProSumbawa Oleh: Ahmad Syaichu Rauf


Kamus Bebar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan mesjid dengan rumah atau bangunan tempat umat Islam beribadah. Masjid secara harfiah adalah tempat sembahyang bagi umat Islam. KBBI tidak menjelaskan apakah ibadah seperti apa yang dikandung dalam pengertian tesebut. Sepertinya KBBI hanya mengartikan beribadah dengan ibadah shalat tanpa memandang bahwa kata “ibadah” memiliki pengertian yang luas, berbeda dengan pengertian ibadah yang tercantum dalam KBBI, yang mengartikan dengan “perbuatan atau pernyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasi oleh peraturan agama. Pengertian tersebut berlaku untuk semua agama meskipun kata tersebut diadopsi dari bahasa Arab.






Adapun menurut Syariat Islam, khususnya pendapat ulama fiqih bahwa ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh ridha Allah dan pahala dari-Nya. Nampaknya pengertian inilah yang tepat disematkan kepada ibadah dalam konteks Masjid sebagai tempat umat Islam beribadah. Dengan demikian, masjid bukan saja menjadi tempat untuk shalat saja melainkan juga untuk aktivitas lainnya.
Masjid sebagai rumah Allah didirikan agar umat bertasbih, mengingat dan menyembahNya, serta bersyukur kepada-Nya dengan sebenar benarnya. Allah berfirman sebagaimana termaktub dalam AlQur-an surat AnNuur ayat 36, 37, dan 38) yang artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang (36), laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat, mereka takut pada suatu hari yang (hari itu ) hati dan penglihatan menjadi goncang (37, (Meeka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang mereka telah kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah member rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.


”Ibadah terpenting dan paling utama dilakukan di masjid adalah shalat yang merupakan tiang agama Islam dan kewajiban ritual yang memungkinkan seorang muslim berjumpa dengan Tuhannya lima kali dalam sehari semalam, sehingga bisa dimisalkan dengan kolam-kolam spiritual yang menjadi tempat-tempat pembersihan segala macam dosa, noda, dan bekas-bekas kelengahannya, lima kali setiap hari.Karena masjid merupakan sarana peribadatan dalam pengertian umum, maka masjid dapat difungsikan sebagai sarana ekspresi seni estetika dan budaya, sarana pendidikan, sarana pemberdayaan umat, dan lain sebagainya. Fungsi masjid seperti ini mengalami kemunduran dibandingkan dengan fungsinya pada zaman Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam dimana pada zaman tersebut masjid difungsikan sebagai pusat ibadah untuk melakukan kegiatan pembinaan dan peningkatan kualitas umat, serta sebagai tempat ibadah untuk melakukan kegiatan shalat, zikir dan i’tikaf.


Masjid di zaman Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya, serta para generasi berikutnya memiliki fungsi yang seimbang antara ibadah khusus kepada Allah subhaanahu wata’aalaa dengan kegiatan muamalah, atau perpaduan antara hubungan vertikal dan horisontal. Bangunan pertama yang dibangun oleh Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam pada periode Madinah adalah masjid. Masjid pertama yang didirikan Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun pertama Hijriyah (28 Juli 622 M) adalah Masjid Quba yang terletak di kota Madinah. Masjid Quba ini di awal pendiriannya ditujukan untuk melakukan pembinaan terhadap jamaah muttaqin dan mutathahhirin, karena itulah Allah swt memberikan apresiasi positif atas pendiriannya dengan firman-Nya yang termaktub dalam QS. AtTaubah ayat 107 yang artinya: “Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-Iamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bershalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. Seteah masjid Quba, Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam mendirikan masjid Nabawi yang memiliki nilai sangat strategis dan sangat menentukan dalam menumbuhkan dan mengembangkan masyarakat muslim padamasaitu. Di masjid tersebut Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya tidak saja melakukan shalat berjamaah, melainkan juga aktivitas dakwah ditumbuhkembangkan, mulai dari melaksanakan silaturrahmi (komunikasi-interaktif), menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar, mengelola baitul mal, menyusun strategi perang, dan melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada zaman Rasulullah , masjid juga menjadi pusat peradaban. Masjid dijadikan sebagai tempat untuk dakwah, pendidikan, pengembangan ekonomi, dan pelayanan sosial. Bahkan, para sahabat melakukan latihan perang pun di depan masjid. Masjid benar-benar dijadikan sebagai pusat kegiatan umat Islam. Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy menyebutkan bahwa masjid merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Islam. Masyarakat Islam tidak akan terbentuk secara kukuh dan rapi kecuali dengan komitmen terhadap Islam. Hal ini tidak akan bisa ditumbuhkan kecuali dengan cara memakmurkan masjid. Memakmurkan Rumah Allah Sesungguhnya rumah-rumah-Ku di bumi-Ku adalah masjid-masjid. Dan sesungguhnya yang mendatangi-Ku adalah yang memakmurkannya. Maka beruntunglah orang-orang yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi-Ku di rumah-Ku, maka hak-Ku adalah memberi kemuliaan kepada orang yang datang ke rumah-Ku. (Hadist Qudsi).
Baca Juga  Program Bariri Nelayan Dinilai Belum Mampu Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Data di Kementerian Agama Republik Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah masjid paling banyak di dunia. Ada sekitar delapan ratus ribuan masjid yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Khusus di Kabupaten Sumbawa mencapai lebih dari 800 masjid dan musholla. Uniknya, sembilan puluh sembilan persen dari keseluruhan masjid di Indonesia dibangun dan dikelola masyarakat, sementara sisanya dibangun oleh pemerintah. Berbeda halnya dengan masjid-masjid yang ada di beberapa negara Islam. Di Arab Saudi, Kuwait, Iran, dan lainnya, masjid dibangun oleh pemerintah. Dan Tidak hanya itu, imam dan marbotnya diatur dan digaji oleh pemerintah.


Dewasa ini meski banyak orang berlomba-lomba membangun dan menghias bangunan fisik masjid bahkan secara berlebihan namun abai terhadap fungsinya terutama terutama sebagai tempat mendirikan shalat baik sendiri-sendiri maupun berjamaah. Dewasa ini, banyak umat Islam yang mengabaikan shalat berjamaah di masjid terutama bahkan shalat sendirianpun ditinggalkan.. Terkadang ada orang yang rela berjalan jauh menuju masjid untuk shalat berjamaah demi memperoleh pahala yang besar dari setiap langkahnya. Sebaliknya, banyak pula orang yang tinggalnya di sekitar masjid bahkan bertetangga dengan masjid tidak pernah shalat berjamaah di masjid, karena siang dan malam dilalaikan oleh kesibukan duniawi yang sia-sia. Ada orang yang banyak ilmunya dan terhormat di mata manusia tetapi hampir tidak pernah shalat apalagi berjamaah di masjid. Sebaliknya, banyak juga orang yang sedikit ilmunya, namun rajin shalat dan berjamaah di masjid. Ada orang yang rajin shalat berjamaah di masjid tetapi shalatnya itu tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar di luar masjid. Shalatnya hanya sebagai penggugur kewajiban tapi tidak mempengaruhi perilaku dan sikapnya di luar masjid. Bahkan ada juga orang yang tidak pernah jarang ke masjid bahkan jarang shalat, justru diangkat menjadi pengurus Dewan Kemakmuran Masjid karena kekayaannya atau kedudukannya yang terhormat. Sebagian pengurus masjid ada pula yang melarang khatib/ustaz berbicara masalah di luar bidang yang dianggapnya bukan bagian dari agama termasuk masalah berkaitan dengn poliutik karena beranggapan bahwa politik itu kotor sedangkan masjid itu suci, yang kotor tidak boleh/haram dibicarakan di tempat yang suci.


Saat ini, hampir semua masjid di Kabupaten Sumbawa hanya difungsikan sebagai tempat shalat saja, tidak lebih. Jika ada masjid yang dijadikan sebagai tempat pemberdayaan masyarakat, itu pun jumlahnya tidak banyak. Kenapa bisa demikian? Kondisi masjid di Kabupaten Sumbawa seperti itu disebabkan oleh antara lain: Pertama, mesjid tidak dikelola dengan serius. Pengelola atau pengurus masjid tidak atau belum memiliki semangat yang tinggi untuk mengurusi masjid secara optimal. Hal ini biasanya disebabkan karena mereka disibukkan dengan aktifitas kerja masing-masing dan merasa kurang penting mengurusi masjid sehingga kurang begitu memperhatikan masjidnya. Sehingga ada yang menyebut hampir semua masjid di Kabupaten Sumbawa bahkan mungkin di Indonesia, laa yamuutu wa laa yahyaa (tidak mati tapi tidak juga hidup), terutama dalam hal program kegiatannya.


Kedua, pengelola masjid tidak kompeten. Kompetensi seorang pengelola masjid dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana seperti zaman Rasulullah . Pengelola yang kompeten tentu memiliki semangat inovatif, kreatif, dan memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengelola masjid. Ketiga, dualisme kepemimpinan yang rentan konflik. Di Kabupaten Sumbawa biasanya pengelola masjid terdiri dari pengurus yang dikenal dengan istilah Hukum Masjid dan Panitia Pembangunan Masjid. Biasanya, konflik antar pengelola disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam mengurus masjid. Yang satu menginginkan seperti ini, sementara yang satunya lagi menginginkan seperti ini, sehingga tidak ada titik temu antar keduanya karena mementingkan ego dan keinginannya masing-masing. Bila konflik semacam ini dibiarkan, maka dipastikan masjid akan terbengkalai dan program-programnya tidak jalan.


Selain keempat masalah tersebut, terdapat juga masalah yang berkaitan khusus shalat berjamaah yang berdampak kepada kurangnya makmum yang mengikuti shalat berjamaah dan tentunya berdampak kepada sepinya masjid. Masalahnya antara lain kompetensi imam atau yang memimpin shalat. Kompetensi imam dalam memimpin shalat terutama dalam hal bacaan ayat-ayat AlQur-an yang kurang memadai mengakibatkan enggannya jamaah bermakmun kepada imam tersebut dan karenanya mencari masjid yang imamnya memiliki kompetensi. Di samping itu, ada juga imam yang memimpin shalat dengan membaca cukup banyak ayat yang membuat jamaah merasa lelah, karenanya tidak disukai dan meninggalkan shalat jamaah di tempat tersebut. Ada juga masalah yang berkaitan dengan sikap dan perilaku pengurus masjid terutama marbot yang tidak ramah terhadap anak-anak yang bentuknya antara lain membentak dan memarahi bahkan mengusir anak-anak yang dianggap kelakukannya mengganggu jamaah yang sedang shalat, akibatnya tertanam pada diri si anak bahwa masjid bukanlah tempat yang nyaman dan menyenangkan hingga enggan ke masjid hingga dewasanya.
Baca Juga  Siapkan Calon Kepala Sekolah Digelar Diklat In Service Learning 1

Berdasarkan keadaan sebagaimana disebutkan di atas, perlu kiranya dilakukan upaya merevitalisasi Masjid sebagai pusat peradaban sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Upaya tersebut, penulis istilahkan dengan Memakmurkan Masjid. Apabila masjid sudah makmur, maka masjid kemudian dapat memberikan kemakmuran bagi jamaahnya. Masjid Makmur Jamaah pun Makmur.


Dalam rangka memakmurkan masjid, sekurang-kurannya ada tiga hal yang sejatinya menjadi fokus perhatian yang berkelindan satu sama lainnya, yaitu: Pertama, jamaah. Hadist qudsi di atas, menerangkan bahwa salah satu cara untuk mengukur suatu masjid makmur atau tidak adalah dengan cara melihat jamaahnya. Jika jamaahnya banyak, maka masjid tersebut makmur. Begitupun sebaliknya.


Kedua, program kegiatan. Kemakmuran masjid juga bisa dilihat dari variasi kegiatan yang ada. Dalam hal ini, dapat dikemukan beberapa tujuh program kegiatan untuk memakmurkan masjid. (a) Menjadikan masjid sebagai pusatkeselamatan dalam beragama. (b) Menjadikan Masjid sebagai Penyehatan Jamaah seperti memberikan penyuluhan kesehatan dan mendirikan klinik di sekitar area masjid, menyelenggarakan khitanan masal, dan layanan kesehatan lainnya. (c) Menjadikan masjid sebagai Pusat Keilmuan seperti Mendirikan Madrasah, Taman Pendidikan Al-Qur’an, Majelis Ta’lim, dan lainnya. (d) Menjadikan Masjid sebagai Pusat Pengelolaan dan Pengembangan ekonomi umat seperti pendirian koperasi, Baitulmal wattamwil, tempat jual beli (dagang). (e) Menjadikan masjid sebagai Pusat dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin seperti menyelenggarakan kajian dan pengajian serta penyuluhan dan pelatihan. (f) Menjadikan masjid sebagai Pusat kepedulian sosial seperti memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu, menggalang dan menyalurkan dana bantuan bencana alam. (g) Mendoakan dan mensholatkan orang yang wafat seperti menyelenggarakan tahlil dan istighotsah bersama. (h) Menata Manajemen Kemasjidan, seperti membentuk Dewan Kemakmuran Masjid yang berisikan orang-orang yang mengerti tugas dan tanggung jawabnya terutama bagi mereka yang memiliki kepedulian terhadap kemakmuran masjid. (h) Menjadikan masjid bagaikan MALL dalam pengertian bahwa masjid harus bersih dan menarik untuk didatangi serta menawarkan dan menyediakan kebutuhan jamaah sehingga jamaah merasa betah berada di masjid dan ingin selalu berada di masjid. (i) Menata akustik masjid, yaitu menghadirkan sound system yang nyaman didengar oleh telingan siapa pun utamanya jamaah.


Ketiga, finansial atau keuangan. Untuk memakmurkan masjid, setidaknya harus memiliki pendanaan yang cukup. Program-program masjid yang sudah disusun tersebut bisa terlaksana dengan baik jika ada anggaran yang memadai. Segalanya butuh uang tapi uang bukan segala-galanya. Kebutuhan, sarana dan prasarana masjid juga memerlukan biaya. Untuk itu, harus ada langkah yang tepat untuk mewujudkan kemandirian keuangan masjid. Masjid tidaak harus menerima infaq atau shodaqah berupa uang melainkan juga barang. Salah satu caranya adalah dengan mengajak jamaah untuk aktif dalam Gerakan Investasi Masadepan (GIM). Gerakan ini bisa berupa Zakat, Infaq dan Shadaqah serta Waqaf dan Hibah baik dalam bentuk uang maupun barang, seperti menawarkan kepada jamaah untuk secara gotong royong membeli karpet, membayar tagihan listrik, dan lain-lain dengan sistem paket. Atau bias juga masjid menitipkan celengan di setiap rumah di sekitar masjid dan meminta pemilik rumah untuk mengisinya minimal seribu rupiah dalam sepekan, atau di warung, kios, outlet, rumah makan, dan lain-lain. Seandainya celengan di rumah-rumah saja dapat berjalan dan misalnya ada seratus celengan yang disebar pengurus masjid, maka akan terkumpul empat juta rupiah dalam waktu satu bulan. Tentu ini tidak mudah, butuh ketekunan, keuletan, dan konsistensi dari pengurus masjid dan warga yang dititipi celengan tersebut belum ditambah dengan celengan di tempat lain.


Semua program tersebut memang agak sulit diimplementasikan jika pengelola masjid tidak memiliki keyakinan untuk dapat melaksanakannya, karena realitanya banyak masjid yang dapat mengumpulkan dana yang banyak dari jamaahnya namun tidak memiliki keberanian untuk memanfaatkannya, dan masih merasa bangga bila dapat melaporkan pengumpulan dana infaq dan shadaqah serta dana lainnya dalam jmlah yang besar. Padahal, dengan menahan dan belum menyalurkan dana infaq dan shadaqah tersebut sama artinya dengan menahan amal jamaah. Dana-dana tersebut tersebut dapat digunakan untuk memberikan kemakmuran kepada jamaahnya dengan cara antara lain, menyantuni anak-anak yang kurang mampu untuk konsumsi sehari-hari atau untuk kelangsungan pendidikannya, penyediaan makan dan minum bagi jamaah pada waktu waktu tertentu, menyediakan fasilitas istirahat bagi jamaah musafir/ibnu sabil, dan lain-lain. Dengan demikian Masjid Makmur dan Jamaah pun Makmur.



Wallaahu a’lam.


Post Views: 67


Adblock test (Why?)

Komentar