ProSumbawa Oleh : Ubaidullah
Dosen UNSA
Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumbawa
Anggota Dewan Pendidikan Sumbawa
“Sebuah bentuk kesyukuran yang tiada tara bagi seorang hamba kepada rabbnya, ketika mampu diberikan kesempatan untuk membersemai diri dalam bulan mulia, bulan agung, bulan magfirah, bulan syarul qur’an, dan bulan mustajbud do’a. Inilah momentum untuk kita melakukan transendensi diri menjadi umat terbaik”. (Penulis)
Tidak terasa putaran waktu yang melaju begitu cepat, kini kita umat muslim di seluruh dunia kembali dibersami oleh ramadhan salah satu bulan yang memiliki keutamaan dan kemuliaan. Dalam konteks perlu kiranya kita mencoba kembali memahami makna dasar kata “ramadhan”.
Kata “ramadhan” sendiri pada dasarnya diambil dari kata “ramidla” yang berarti panas. Para ulama kemudian menjadikan makna panas pada kata “ramadhan” dengan arti membakar atau menghapus semua dosa-dosa orang yang berpuasa pada bulan tersebut. Semua itu bukanlah kesimpulan yang tanpa landasan apa pun, melainkan punya dasar dari hadits Rasulullah dan beberapa pendapat para ulama.
Diantaranya sebagai berikut: Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad al-Baghdadi, atau yang lebih masyhur dengan sebutan Imam Al-Mawardi, dalam salah satu kitabnya menjelaskan, alasan tersebut karena pada bulan Ramadhan merupakan bulan pembakaran dosa. Dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, dinamakan Ramadhan karena karena membakar dosa.”
Bulan Ramadhan adalah bulan yang ke 9 dari penanggalan Hijriyah dan merupakan bulan yang sangat mulia. Posisi dan keutamaanya disebutkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits dan diakui oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabiit Tabi’in, Ulama Salaf, Ulama Khalaf, Ulama Tradisional maupun Ulama Kontemporer.
Karena demikian itu tidaklah mengherankan jika kemudian bulan Ramadhan tersebut diberikan berbagai nama atau gelar yang berbanding lurus dengan posisi serta keberadaannya. Diantaranya adalah Syahrun Adzim (Bulan Agung), Syahrun Mubaarakun (Bulan Berkah), Syahruttarbiyah (Bulan Pendidikan), Syahrul Magfirah (Bulan Pengampunan). Begitu mulia dan istemewanya Ramadhan, terlihat dari nama-nama yang disematkan kepadanya, nama-nama itu adalah nama-nama pilihat yang value tinggi dihadapan Allah Swt.
Dalam konteks ini, sebagai orang beriman tentu kita harus mampu mejuktaposisi diri menjadi seorang hamba yang riang gembira bias hadir menjadi bagian dari ramadhan ini. Rasa riang gembira akan berimplikasi pada munculnya rasa keikhlasan dan ketulusan dalam menjalankan seluruh rangkaian ibadah di mulia nan agung ini. Sehingga ramadhan dapat kita maknai sebagai ibadah ritual transendental yang nilai seluruh ibadah di dalamnya dikhususkan untukNya.
Transendensi Diri
Terminilogi “transendsi” merupakan derivasi makna dari kata “Tu’minubillah” yang artinya kembali beriman kepada Allah swt. Membuka hati dan pikiran untuk memfokuskan diri sacara utuh dalam meneguhkan rasa keimanan dan ketaqwaan kita kepadaNya. Transendensi diri berarti sebuah proses yang dilakukan oleh setiap insan untuk menghadirkan rasa keimanan yang kaffa kepada Allah Jallajala’luh.
Transendensi adalah dimensi faktual tentang keimanan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah Swt. Sadar sebagai mahluk ciptaan Tuhan artinya menyadari eksistensi diri sebagai mahluk yang mampu memhami dirinya, hidupnya, alam sekitar dan Tuhan Yang Maha Esa. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendental (Muchlis, 2011: 76). Dalam teologi Islam transendensi berarti percaya kepada Allah, kitab Allah, dan seluruh apa yang menjadi perintah Allah Swt.
Baca Juga Hadirkan BLK di Ponpes, Presiden Ingin Berdayakan Santri
Yang menjadi ciri dari transendensi ini adalah istiqomah dalam beribadah, selalu bersyukur, dan tawadduh (rendah hati). Transendesi ini juga merupakan bagian dari proses rekonsiliasi diri untuk khairaummah dihadapan Allah Swt. Ramadhan ini merupakan momentum strategis untuk kita melakukan berbagai upaya dalam rangka mentransendensi diri menjadi umat yang selalu dicintai dan selalu mendapat magfirah Allah Swt. Karena seluruh kegiatan yang berbasis ibadah untuk meningkatkan iman dan taqwa akad dilipatgandakan pahalanya oleh Rabb penguasa langit dan bumi.
Untuk mentransendesikan diri dalam bulan mulia ini, perlu kita banyak melakukan taqarrub yang intens dengan melakukan hal-hal berikut ini :
1. Istqomah dalam beribadah
Sikap istqomah akan mengantarkan kita pada puncak kebahagiaan yang haqiqi. Istiqomah berasal dari bahasa arab yang artinya lurus. Istiqomah adalah usaha untuk menjaga perbuatan baik di jalan Allah secara konsisten dan tidak berubah.” turur Arneza. Ibnu Abbas Radialahu Anha memaknai istiqomah dengan tiga arti. Pertama, istiqomah dengan lisan dan sikap bertahan dengan membaca syahadat. istiqomah adalah sikap teguh pendirian dan selalu konsisten.
Menurut Ensiklopedi Islam, pengertian istiqomah adalah keadaan atau upaya seseorang untuk teguh mengikuti jalan lurus (agama Islam) yang telah ditunjukan Allah SWT pada umatnya. Istiqomah berfungsi sebagai pencegah setiap pribadi muslim agar tidak tergoda oleh prilaku maksiat dan lebih-lebih ingkar kepada Allah SWT setelah ia beriman.
Istiqomah menurut bahasa berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf qof, wa, dan mim yang menunjukkan dua makna. Pertama, pengertian istiqomah adalah kumpulan manusia. Pengertian istiqomah kedua adalah berdiri atau tekad yang kuat. Dari makna yang kedua, istiqomah diartikan dengan I’tidal (tegak atau lurus). Perilaku istiqomah dapat diwujudkan melalui kegiatan dibulan mulia ini, seperti :
a. Selalu menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan apa pun dan di mana pun.
b. Melaksanakan salat tepat pada waktunya.
c. Membaca dan Mentadabbur Al-Qur’an
d. selalu menaati peraturan, baik yang ada di rumah, sekolah, maupun di masyarakat;
e. selalu menjalankan kewajibannya dengan rasa senang dan nyaman, tidak merasa dipaksa atau dibebani.
2. Selalu bersyukur
Dikutip dari buku Pelajaran tentang Bersyukur karya Muhammad bin Shalih Al-Munajjid, berdasarkan bahasa, syakartulooha atay syakartu lillaah yang berarti mensykuri nikmat Allah. Selain itu, syukur juga bisa diartikan sebagai perasaan rasa senang, sehingga dalam bahasa Arab, syukur, yaitu syakaro-yaskuru-syukron” yang berarti pujian kepada pemberi kebaikan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa bersyukur adalah mengucapkan atau mengungkapkan rasa terima kasih kepada Allah atas nikmat hidup yang telah diberikan.
Baca Juga Gubernur Ajak Millenial Ikut Sukseskan NTB Gemilang
Istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim, “Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah”.
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah l. Semisal Qarun yang berkata, “Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (Q.S. al-Qashash [28]: 78).
Syukur adalah bentuk ibadah kita kepada Allah . Banyak ayat di dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur ini adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah . Allah berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152). Maka orang yang bersyukur adalah orang yang menjalankan perintah Allah dan orang yang enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.
3. Tawadhu (rendah hati)
Tawadhu’ berasal dari Bahasa Arab yang artinya meletakkan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Tawadhu’ berarti rendah hati. Yang dimaksud dengan tawadhu’ adalah sikap dan perbuatan manusia yang menunjukkan adanya kerendahan hati, tidak sombong dan tinggi hati, mudah tersinggung. Gambaran tawadhu’ disebutkan pada Al-Qur’an surah ke 25, Al-Furqan ayat 63: Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Tawadhu adalah sikap rendah hati yaitu lawan kata dari sikap sombong. Sikap renda hati ini harus dijaga, dipelihara, dan diterapkan dalam kehidupan. Rendah hati dihadapan orang lain, orang lebih besar, seperti guru terhadap murid, dosen terhadap mahasiswa .
Tawadhu’ ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita. Tawadhu’ merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu’, karena tawadhu’ merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.
Sikap tawadhu’ sangat penting artinya dalam pergaulan sesama manusia, sikap tawadhu’ disukai dalam pergaulan sehingga menimbulkan rasa simpati dari pihak lain. Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap tulus ikhlas, murni dari tujuan selain Allah. (*)
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar