Efektivitas Perlindungan Hukum: Kaum Perempuan Menjadi Korban PHK Massal Tanpa Pesangon di Bandung

ProSumbawa Oleh : Fadilah Alji (Mahasiswa Prodi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang) Dikutip dari jurnal yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemenuhan Hak dari Pekerja yang Dirumahkan pada Masa Pandemi Covid-19” memaparkan bahwa pemenuhan hak dan kewajiban bagi setiap pekerja telah diupayakan melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam hal ini telah diatur bentuk-bentuk pekerja seperti pekerja waktu tidak tetap atau yang biasa disebut dengan pekerja kontrak. Sedangkan pekerja waktu tetap umumnya disebut sebagai pekerja kontrak, serta pekerja yang dalam hal ini telah diputus hubungannya dengan status PHK. Pada status pekerja yang dirumahkan berbeda dengan status pekerja yang di-PHK, hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjan tidak ditemukan bahasa tersebut. Oleh sebab itu hak dan kewajiban dari pekerja yang dirumahkan akan merujuk pada hak dan kewajiban pekerja yang sebagaimana tertera dalam undang-undang serta hak dan kewajiban pekerja yang merujuk pada sebuah perjanjian kerja. Pandemic Covid-19 telah berhasil memberikan kesenjangan yang berdampak sangat besar terutama dalam aspek ekonomi dunia. Seluruh negara di dunia secara bersamaan membentuk sebuah regulasi yang bertujuan untuk memutus rantai persebaran virus yang telah menjadi bencana nasional yang bersifat non alam. Hadirnya bencana non alam ini menimbulkan dampak berupa penghentian mobilitas dari beberapa unsur distribusi dan produksi secara kontan yang dalam hal ini turut mempengaruhi pada laju kinerja pekerja yang berkurang. Berdasarkan data yang secara resmi dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, tercatat sebanyak 29,4 juta pekerja pada sector terdampak pandemic mengalami PHK maupun dirumahkan. Dalam hal ini pekerja dibedakan menjadi 2, yaitu pekerja pria dan pekerja perempuan. Pekerja perempuan merupakan perempuan dewasa yang berumur 18 tahun, baik yang sudah menikah maupun belum, mereka yang dalam hal ini melakukan pekerjaan dengan mendapat gaji maupun imbalan dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini hak dan hukum ketenagakerjaan memiliki kaitannya dengan perlindungan kerja bagi perempuan yang dalam hal ini berkaitan dengan reproduksi, fungsi, upah, jabatan, yang dimana realinya hak pekerja perempuan sering di diskriminasi dengan pekerja pria. Baca Juga  Layani Pengunjung MXGP, FISIP UTS Launching Aplikasi SumbawaFindGuide Dalam era reformasi, pelaksanaan terhadap hak asasi semakin terlihat dahsyat. Namun di satu sisi diskriminasi termasuk pelecehan bagi maum perempuan yang masih berlangsung sampai dengan saat ini. Diskriminasi sendiri dapat berupa diskriminasi gender yang dalam hal ini berupa adanya perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Hadirnya perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan sebuah perlindungan dari kekuasaan perusahaan seperti terciptanya suasana yang damai pada suatu perusahaan. Adapun perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan diatur dalam undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja, pasal 76. Dikutip dari CNN Indonesia, Menteri ketenagakerjaan mengungkapkan bahwa sebanyak 623.407 pekerja perempuan terkena dampak pandemic covid-19. Beberapa dari mereka dirumahkan, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pemulangan pemagangan. Pandemic Covid-19 telah berhasil melemahkan posisi perempuan di dunia kerja. Dalam hal ini yang lebih banyak mengalami PHK ialah kaum perempuan. Hal tersebut seperti yang terjadi pada buruh perempuan di Bandung yang menjadi korban PHK Massal. Sebanyak 1.142 buruh perempuan yang menjadi buruh jahit di PT Masterindo Jaya Abadi. Mirisnya, perempuan-perempuan yang di PHK tersebut tidak mendapatkan pesangon dari perusahaan tempat mereka bekerja. Perusahaan tersebut tidak sanggup dalam membayar upah pekerja akibat pandemic covid-19 sehingga terjadinya PHK massal. Situasi semakin diperparah ketika perusahaan diduga enggan membayar pesangon sesuai dengan aturan. Baca Juga  Kabid Sarpras Dishub Tuding Bosnya Berbohong Berdasarkan hitungan dari sala satu karyawati, berdasarkan UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 30 Tahun 2003, sebagai karyawan tetap yang sudah bekerja selama 22 tahun harusnya ia menerima total pesangon mencapai 100-120 juta. Namun perusahaannya hanya menyodorkan upah sekitar 11 juta. Dikutip dari Liputan6.com memaparkan bahwa majelis hakim pengadilan hubungan industrial di Pengadilan Negeri Bandung telah memutuskan agar PT Masterindo Jaya Abadi membayar pesangon terhadap buruh yang telah di-PHK pada April 2021 lalu dengan jumlah Rp 56,5 Miliar. Keputusan tersebut berlandaskan pada Undang-Undang Cipta Kerja. Perlindungan hukum yang diterapkan dapat dikatakan belum dapat dikatakan efektif. Hal ini dikarenakan tuntutan yang dilayangkan oleh parah buruh ialah RP 110 Miliar berdasarkan pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Hal inipun terbukti dengan berkurangnya jumlah buruh yang menuntut keadilan mereka namun tidak di kabulkan sesuai dengan perlindungan yang seharusnya mereka dapat. Terbukti dari adanya jumlah buruh yang menuntut yang semula berjumlah 1.142 buruh lalu berakhir menjadi 962 buruh. Akibat dari hukum Indonesia yang selalu tumpul mengakibatkan para buruh tidak tahan, lalu terpaksa menerima tawaran uang dari perusahaan dengan nominal yang tidak seharusnya. Jika berbicara mengenai hukum, hak perempuan mungkin tidak ada habisnya dan tidak ada adilnya. Pertama, perlindungan hukum Indonesia tidak dapat di jalankan dengan baik. Kedua, kaum perempuan yang selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dan selalu diperlakukan dengan seenaknya. Harapannya peristiwa seperti ini menjadi bahan evaluasi bagi para pemangku kebijakan untuk merubah pelaksanaan regulasi agar masyarakat khususnya kaum perempuan tidak selalu merasa di rugikan dan dapat mendapatkan hak mereka sebagaimana mestinya. (*)  Adblock test (Why?)

Komentar