BPN Kembali Berulah, Terbitkan Sertifikat di Tanah Bersertifikat

ProSumbawa SUMBAWA BARAT, samawarea.com (1 November 2022)–Konflik tanah tidak akan pernah berakhir, sepanjang aparat yang berwenang ikut menjadi pemicu. Hampir semua bidang tanah milik Nyonya Lusi selaku ahli waris Almarhum Slamet Riyadi Kuantanaya (Toe) di Kabupaten Sumbawa Barat, dicaplok orang lain. Padahal tanah Nyonya Lusi sudah bersertifikat. BPN secara sepihak telah menerbitkan sertifikat lain di atas lahan tersebut. Dengan munculnya sertifikat ganda itu menjadi dasar bagi orang lain menguasai tanah milik Nyonya Lusi. Sebut saja beberapa bidang tanah di Desa Maluk, Desa Mantun, dan Desa Sekongkang Bawah, Kabupaten Sumbawa Barat. Seperti lahan di Kecamatan Maluk, seluas 19.695 dikuasai Imran Halilintar dkk, dan lahan seluas 10.750 dikuasai Ustadz Cakil dkk. Kali ini sertifikat ganda di bidang tanah lainnya di Desa Mantun milik Nyonya Lusi, kembali muncul. Sertifikat yang dikantongi Nyonya Lusi atas lahan seluas 20.100 meter persegi tersebut terbit Tahun 1987. Namun di luar dugaan muncul beberapa sertifikat di atas lahan tersebut. Sertifikat baru ini terbit Tahun 2018. Hal ini terungkap ketika Nyonya Lusi hendak menjual lahan tersebut dengan cara dikapling. Ketika hendak melakukan pemecahan sertifikat induk, ada beberapa kapling yang sebagian lahannya sudah bersertifikat atas nama orang lain. Tentu saja kenyataan ini membuat Nyonya Lusi marah besar. “Kok bisa hampir semua tanah kami di Maluk ini selalu saja ada ada sertifikat lain di atasnya. Luar biasa praktek mafia tanah ini,” sesal Nyonya Lusi kepada media ini, Senin (31/10). Dikatakan Nyonya Lusi, adanya sertifikat di atas sertifikat ini, diduga kuat karena peran dari oknum pemerintah desa hingga oknum BPN. Sebab proses munculnya sertifikat ganda ini bermula dari desa dengan melakukan proses penerbitan sporadik. Padahal data tanah itu baik berupa SPPT yang tetap terbayar setiap tahun, keterangan telah bersertifikat (bukti lampiran SHM), maupun nama para penggarap sudah tercatat jelas. Bahkan kembali dipertegas lagi dengan surat pernyataan yang dibuat di Kantor Desa Mantun yang ditandatangani Kades, Sahril S.Sos, dan Selamet Riyadi (Toe) selaku pemilik hak. Dalam surat pernyataan yang dibuat 18 Oktober 2021 ini, tercatat 10 orang penggarap lahan seluas 20.100 meter persegi. Mereka adalah Drs. Rosidi, Amaq Jidah, Amaq Azis, Mahsun (Conk), Baiq Maheran, Parihun S.Ag, Sobirin, Haji Wantikno, Amaq Agus dan Kades Mantun sendiri, Sahril S.Sos. Baca Juga  Diduga Bermasalah, 1 Ton Pupuk Bersubsidi Diamankan Polisi Dalam membuat pernyataan, para penggarap siap menggarap dan mengamankan lahan tersebut. Selain itu dalam membuat surat pernyataan ini dilampirkan bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat No. 279 yang terbit pada 1 Agustus 1987. “Tapi kenapa ada sertifikat lain di atasnya, dan bagaimana sertifikat itu bisa terbit. Ini patut diduga ada dokumen-dokumen yang dipalsukan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan melakukan konspirasi jahat,” kata Nyonya Lusi. Yang dia sesalkan juga pihak BPN dengan mudahnya melakukan proses penerbitan sertifikat tanpa melakukan pengecekan baik data administrasi maupun fakta lapangan. Padahal BPN memiliki data mengenai tanah tersebut. Sikap dan pelayanan BPN berbeda jika Nyonya Lusi yang mengajukan permohonan baik berupa pengukuran ulang atau rekonstruksi batas, pemecahan sertifikat, maupun penerbitan sertifikat yang dilengkapi dengan data-data, BPN sangat rigit untuk melakukan pengecekan. Dan hampir semua permohonan Nyonya Lusi ke BPN Sumbawa Barat selalu mental dan tidak berproses. BPN selalu memberikan alasan yang beragam dan terkesan mengada-ada. Ujung-ujungnya menyarankan Nyonya Lusi menempuh upaya hukum. “Emangnya langkah hukum ini gratis. Lalu bagaimana tanggung jawab BPN untuk melindungi kami yang mengantongi sertifikat yang merupakan produk BPN sendiri. Ini kesannya justru melindungi orang-orang yang mengambil tanah kami,” ujarnya geram. Ia meminta BPN KSB untuk menyelesaikan persoalan tersebut. BPN dapat menganulir sertifikat yang muncul di atas tanahnya yang sudah bersertifikat. Sebab sertifikat baru yang muncul itu diterbitkan Tahun 2018. Artinya masih menjadi kewenangan BPN untuk menyelesaikannya. Tanggapan BPN Sumbawa Barat Dikonfrontir hal itu, Kepala Kantor BPN Sumbawa Barat, Edy Budaya Lutfi, A.Ptnh menegaskan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, BPN akan melihat semua permohonan harus sesuai SOP (standart operation procedure). Khusus terkait dengan Nyonya Lusi, Edy mengaku ada beberapa bidang tanah yang dimohonkan untuk dilakukan pengukuran. Salah satunya lahan (SHM 507/1987) yang berlokasi di depan SDN 3 Mantun, Desa Mantun, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Ada dua nama yang mengklaim lahan itu yaitu Imran Zen dan Imran Halilintar. Sebelumnya Imran Halilintar melakukan permohonan untuk pergantian sertifikat, dan tidak lama kemudian Nyonya Lusy datang mengajukan permohonan pengukuran di lahan yang sama. Baca Juga  Kabar Duka, TKW Asal Marente Alas Meninggal di Arab Saudi Terhadap dua permohonan dalam bidang tanah yang sama, BPN belum bisa melayaninya baik untuk pengukuran maupun pergantian sertifikat. Pihaknya mengarahkan persoalan itu dengan melakukan mediasi, karena secara keperdataan ada dua orang yang mirip namanya saling mengklaim. “Sebelum kami layani, secara yuridis administrasi, kami harus pastikan dulu siapa yang berhak. Caranya mediasi. Ketika tidak menemui hasil, langkah terakhir adalah upaya hukum. Inilah yang kami jelaskan kepada Kejaksaan dari Kejati NTB yang turun beberapa hari lalu,” ujarnya. Kemudian soal sertifikat ganda sebagaimana yang diungkap Nyonya Lusi, Edy mengakuinya. Ia menjelaskan bahwa saat ini BPN telah bertransformasi dari manual ke digital, sehingga semua system manajemen atau administrasi secara komputerisasi. Perubahan ini mendorong masyarakat yang memiliki sertifikat di bawah Tahun 2010 agar dilakukan ploting. Tujuannya untuk mengambil titik koordinat yang akan diaplikasikan di peta digital BPN. Ketika tidak dilakukan ploting, dapat menyebabkan terjadinya tumpang tindih sertifikat. Karena saat melakukan pengukuran data di peta digital oleh BPN, tidak merekam adanya lokasi tanah tersebut, meski memiliki sertifikat. Faktor lainnya, bahwa pemiliknya tidak menguasai atau tidak memelihara tanahnya. “Di zaman sekarang ini orang butuh tanah, tapi dalam memberikan pelayanan kami tetap mengacu pada SOP, tanpa melihat apakah itikad pemohon yang menguasai tanah itu baik atau tidak. Sebab BPN berdasarkan dokumen adminsitrasi tidak punya kewenangan secara material untuk menguji kebenaranhya. Ketika persyaratan administrasi yang diajukan untuk mengurus sertifikat itu sah, maka akan diproses,” jelasnya. Apalagi sambung Edy, saat dilakukan pengukuran di lapangan tidak ada yang komplin, maupun tidak ada sanggahan ketika proses penerbitan sertifikat. Terkait dengan ploting sertifikat, Edy menyatakan sudah melakukan sosialisasi. Ia membantah sosialisasi yang dilakukan tidak maksimal sehingga membuat pemilik tanah tidak mengetahuinya. “Sosialisasi sudah kami lakukan sejak 2010, dan kami menghimbau masyarakat untuk ploting sertifikat menyusul adanya perubahan dari manual ke digital,” akunya. Lalu dengan adanya sertifikat ganda, mana yang lebih diakui apakah sertifikat lama atau sertifikat baru ? Menurut Edy, harus ada salah satu yang dibatalkan. Untuk membatalkannya ada dua proses yaitu administrasi yang didasarkan pada prosedur yang ada, atau melakukan gugatan ke pengadilan. (SR) Post Views: 306 Adblock test (Why?)

Komentar