Maukah Kita Keluar dari Jebakan Hutang?

ProSumbawa Oleh: H. Wirawan Ahmad, S.Si., M.T (Kepala BRIDA Provinsi NTB) Penulis sengaja membuat judul dengan menggunakan kalimat tanya seperti di atas. Karena sebenarnya yang dibutuhkan untuk keluar dari problem fiskal yang kini dihadapi Provinsi NTB hanyalah kemauan. Ada banyak jalan teknokratik yang dikuasai secara fasih oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Tapi kemampuan itu tidak akan cukup berguna jika tidak didukung oleh political will. Kita semua mafhum bahwa APBD adalah peraturan daerah yang lahir dari sebuah kesepakatan politik antara DPRD dengan eksekutif. Dan kini, angin segar berhembus dari Udayana. Tak kurang dari ketua DPRD, Wakil Ketua hingga sejumlah anggota DPRD menyuarakan agar Pemerintah Provinsi NTB dapat menyelesaikan kewajiban hutang sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah pada akhir Tahun 2023 mendatang. Banyak tafsir yang muncul terhadap usulan ini. Tapi saya memilih tafsir yang bersifat optimis. Suara dari DPRD dimaknai sebagai sebuah kemauan politik yang baik (good politcal will) untuk mengakhiri problem fiscal yang kita hadapi. Wujud problem itu adalah, masih adanya belanja yang sudah ditetapkan dalam APBD namun tidak mampu dibayar pada tahun berkenaan sehingga diluncurkan kembali pada tahun selanjutnya. Begitu seterusnya. Saya juga optimis, Kepala Daerah dan jajarannya akan memiliki kesamaan pandangan, mengingat bahwa penyelesaian kewajiban hutang pada pihak ketiga adalah salah satu prasyarat agar masa jabatan kepala daerah berakhir secara soft landing. Publik sebenarnya memiliki hak untuk mengetahui konstruksi masalah yang sebenarnya. Atas dasar itulah, penulis sebagai kepala OPD yang mengemban tugas salah satunya membedah persoalan daerah secara saintis, yang kebetulan juga memiliki pengalamqn yang panjang dalam mengelola keuangan daerah mencoba memberikan perspektif terkait masalah ini. Jenis Hutang Kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga, atau untuk mudahnya kita sebut sebagai hutang secara garis besar dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah Pinjaman PEN Daerah kepada pemerintah Pusat melalui PT. SMI. Merujuk pada PMK 105/PMK.07/2020 disebutkan bahwa Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah guna mempercepat pemulihan ekonomi daerah sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional. Besarnya pinjaman, peruntukan pinjaman, jangka waktu pembayaran, besarnya cicilan pokok dan bunga, sumber dana untuk pembayaran serta mekanisme pembayaran telah diatur dalam perjanjian antara Pemprov NTB dengan PT. SMI. Pinjaman sebesar 750 milyar digunakan untuk melengkapi infrastruktur RSUP yakni berupa gedung trauma centre, gedung IGD dan gedung perawatan dengan nilai total 500 milyar rupiah. Sedangkan sisanya sebesar 250 milyar rupiah digunakan untuk peningkatan kemantapan beberapa ruas jalan provinsi. Dalam pandangan penulis, pinjaman PEN Daerah sebagai bagian dari stimulus pusat kepada daerah adalah pinjaman yang relatif aman dan menguntungkan. Pertama, dari sisi peruntukan, pinjaman tersebut betul-betul diarahkan pada belanja yang termasuk dalam kategori prioritas satu yakni belanja wajib dan mengikat yang berkaitan dengan pemenuhan pelayanan dasar dan belanja prioritas dua terkait dengan pemenuhan visi dan misi kepala daerah. Pengaturan masalah prioritas belanja tersebut berpedoman pada Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 yang mengatur tata cara perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah. Kedua, sumber pendanaan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga berasal dari sumber pendapatan yang pasti terealisasi yaitu Dana Alokasi Umum. Dengan demikian resiko gagal bayar atau default bisa dipastikan tidak akan terjadi. Baca Juga  Tim Kerja Pimpinan DPD RI Resmi Tolak RUU HIP Dari apa yang penulis paparkan di atas, maka hutang jenis pertama yakni Pinjaman PEN Daerah bukan hutang yang menjadi bagian dari problem fiskal daerah namun sebaliknya menjadi solusi yang menghindari dari terjadinya stagnasi pembangunan infrastruktur publik di era pandemi. Jenis yang kedua adalah utang yang merupakan kewajiban kepada pihak lain. Merujuk kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa hutang berupa kewajiban pada pihak lain itu meliputi pekerjaan yang telah selesai pada tahun sebelumnya, hasil pekerjaan akibat pemberian kesempatan kepada penyedia untuk menyelesaikan kewajibannya melampaui tahun anggaran, perintah pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan kewajiban yang menjadi beban SKPD yang harus dianggarkan setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan. Jenis kewajiban kepada pihak lain yang sekarang menjadi tanggungan Pemprov NTB adalah kewajiban untuk membayar pekerjaan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya. Itulah yang disuarakan oleh DPRD agar segera dibayarkan. Tapi problem tidak berhenti sampai di situ, andai pun kewajiban 2021 terbayarkan, maka dipastikan bahwa masih ada belanja 2022 yang akan di bayarkan pada tahun 2023. Merujuk pada kondisi yang saya paparkan tersebut, maka sebenarnya esensi keluar dari jebakan hutang yang harus disepakati bersama adalah bahwasanya pada Tahun 2023 semua pekerjaan yang tidak terbayar pada Tahun 2022 dapat diselesaikan. Selanjutnya semua belanja yang dianggarkan pada Tahun 2023 dapat terbayar juga pada tahun berkenaan. Artinya tidak ada beban 2023 yang di bawa ke tahun 2024. Kembali ke judul tulisan ini. Jika kita mau dan memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan problem hutang ini pada Tahun 2023, maka jalan yang tersedia cukup terbuka. Ada dua pintu yang harus digunakan secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah ini, yakni pintu pendapatan dan pintu belanja. Penyelesaian dari pintu pendapatan didasarkan pada inti persoalan bahwa yang menyebabkan terjadinya ketidakmampuan Pemprov NTB dalam membayar semua kewajiban di tahun sebelumnya adalah tidak terealisasinya pendapatan daerah sesuai dengan target yang ditetapkan. Jika melihat lebih rinci berdasarkan jenis pendapatan daerah, maka jenis pendapatan daerah yang tidak terealisasi adalah pendapatan asli daerah. Di satu sisi jika pendapatan daerah tidak terealisasi sepenuhnya, sementara disisi lain program yang hendak dibiayai melalui sumber pendapatan tersebut dikerjakan, maka dipastikan program tersebut tidak dapat dibayar pada tahun berkenaan. Itulah sebabnya, jika mau serius menyelesaikan problem hutang pada Tahun 2023 maka target pendapatan terutama pendapatan asli daerah betul-betul ditetapkan berdasarkan kajian teknokratik yang presisi. Akan lebih baik jika dalam tahun berjalan dilakukan perubahan APBD disebabkan karena kondisi surplus sehingga diperlukan penambahan belanja ketimbang melakukan refokusing atau lebih parah lagi menyebabkan timbulnya hutang di akhir tahun anggaran karena mengalami APBD mengalami defisit pada tahun berjalan. Baca Juga  Jaksa Desak Pemda Sumbawa Segel 4 Provider Penetapan target pendapatan daerah yang prudent akan membantu kita untuk mendapatkan kapasitas fiskal riil yang prudent pula. Kapasitas fiskal riil adalah selisih penerimaan daerah terhadap belanja pegawai dan belanja barang jasa dalam belanja operasi yang dalam Permendagri 86 Tahun 2017 masih disebut sebagai belanja tidak langsung. Selanjutnya kapasitas fiskal riil inilah yang digunakan untuk membiayai belanja sesuai skala prioritas yang ditetapkan dalam pasal 158 Permendagri 86 Tahun 2017. Konsistensi pada skala prioritas menjadi inti dari jalan keluar yang kedua dari pintu belanja. Dari sisi belanja, maka belanja Tahun 2023 yang bersumber dari PAD bebas prioritasnya diperuntukkan menyelesaikan kewajiban tahun sebelumnya. Sisa dari kewajiban itulah yang digunakan untuk membiayai belanja yang dialokasikan pada Tahun 2023. Jika political will untuk menyelesaikan hutang pada Tahun 2023 betul-betul serius diterapkan, maka dipastikan ada jenis belanja pada tahun berkenaan yang akan berkurang secara signifikan, mengingat sumber pendapatan pada Tahun 2023 yang bersumber dari PAD fokus untuk membayar belanja sejenis yang sudah dikerjakan pada Tahun 2022. Jenis belanja tersebut adalah belanja prioritas tiga yakni belanja untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan lain di luar belanja wajib dan mengikat serta di luar belanja pemenuhan visi misi kepala daerah. Disini lah problemnya. Belanja prioritas tiga ini sebagian besar merupakan belanja pokir DPRD. Jenis belanja prioritas tiga ini biasanya dibiayai melalui pendapatan asli daerah bebas. Pertanyaannya mengapa menggunakan PAD bebas? Karena PAD bebas inilah yang bebas dari earkmark atau mandatory. Hampir semua sumber pendapatan yang berasal dari transfer pusat termasuk Dana Transfer Umum yang meliputi Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil disertai earmark atau ketentuan berkaitan dengan peruntukannya. Pola pusat yang mengawal secara ketat penggunaan dana transfer agar sesuai dengan prioritas inilah yang menolong jajaran Pemprov NTB dapat melaksanakan fungsi pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di tengah keterbatasan fiskal yang dihadapi selama ini. Penyelenggaran tugas dan fungsi OPD benar-benar tergantung pada dana transfer, karena pengurangan kegiatan yang bersumber dari PAD bebas sudah dilakukan pada semua OPD di jajaran Pemprov NTB. Hanya saja , pemangkasan ini belum signifikan mengurangi beban hutang yang ditanggung Pemprov NTB. Hal ini disebabkan karena porsi terbesar belanja yang bersumber dari PAD bebas berupa belanja Pokir DPRD. Sekali lagi, ikhtiar untuk lepas dari jebakan hutang pada Tahun 2023 sungguh merupakan langkah yang tidak mudah. Tapi dengan modal kemauan maka semua menjadi mungkin. Di mana ada kemauan di situ ada jalan, demikian motivasi yang sering disampaikan Pak Gubernur dalam berbagai kesempatan. (*) Post Views: 72 Adblock test (Why?)
http://dlvr.it/Sb9l2X

Komentar