ProSumbawa Oleh: Lukmanul Hakim
(Dosen Fakultas Psikologi dan Humaniora UTS)
Dunia kerja menjadi momentum pengalaman pertama seseorang untuk dapat menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama mengenyam pendidikan. Semua pengetahuan yang telah didapatkan dibangku sekolah/kuliah harus beradaptasi dengan profesi baru yang dijalani. Faktanya, saat berada di dunia kerja, tidak semua pengetahuan yang didapatkan selama mengenyam bangku sekolah/kampus dapat sesuai dengan realitas lapangan, atau terkadang sebaliknya. Semua yang didapatkan mampu diterapkan pada semua profesi yang digeluti. Jika demikian, kata yang tepat adalah selamat dan sukses!.
Dunia kerja adalah dunia realitas, di mana kita bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan dan kondisi untuk memahami lapangan. Dunia pendidikan kita memang tidak didesan untuk orang langsung bekerja. Pendidikan kita mempunyai tujuan yang agung – ‘luhur’ sekali, dan jauh dari kata ‘materialistis’. Tujuan pendidikan nasional kita adalah untuk membangun karakter penerus bangsa, contohnya adalah ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkaya ilmu pengetahuan, kreativitas, keterampilan, kepercayaan diri, dan juga motivasi terhadap diri sendiri. Karena itu, spiritnya adalah mengembangkan keterampilan dan menumbuhkan kreativitas terhadap dunia baru (dunia pekerjaan).
Dunia kerja memang meletihkan, melelahkan, menguras energi dan baik secara fisik atau psikis, dan beberapa diantaranya membosankan – karena bersifat menoton, ‘kaku’, dan terkadang menegangkan. Kondisi-kondisi tersebut jika tidak diatasi secara baik oleh setiap orang akan menjadi beban yang terasa berat dan menimbulkan energi negatif yang akan mengganggu ‘ritme’ kerja-kerja yang dilakukan. Karena itu, penting bagi setiap orang menciptakan kesejahteran psikologisnya – psychological well-being.
Kesejahteran psikologis dalam literatur kajian psikologi dikenal dengan istilah psychologica well-being, kondisi setiap orang yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dengan tidak ada gejala-gejala depresi, pemaknaan hidup yang tinggi, dan kemampuan untuk dapat mengembangkan pribadi serta bakat-minat yang dimiliki. Makna tersebut mangandung arti bahwa setiap orang sedapat mungkin menjaga emosinya; mampu mengelola emosinya menjadi energi positif sehingga dapat dikatakan memiliki kesejahtaraan psikologis yang baik. Kesejahteraan psikologis yang baik akan mewarnai perilaku dan cara bertindak dalam bekerja dan berkomunikasi dengan banyak orang. Menjalani kehidupan dalam nuansa yang tercerahkan. Optimis dan berupaya untuk berpikir positif dalam berbagai situasi dan keadaan.
Baca Juga FEB UTS Gelar Festival Pasar Modal
Kesejahteraan psikologis berbeda dengan ‘kesejahteraan sosial’. Jika kesejahteraan sosial menekankan pada pemenuhan kebutuhan material, spiritual, dan sosial yang layak untuk diakui satus fungsi sosialnya, dan cenderung pada economic well-being (kesejahteraan ekonomi), maka Kesejahteraan psikologis cenderung lebih ‘intim’ dan dapat membangkitkan perasaan enjoy dan menghadirkan ‘dejavu’ – sebuah perasaan yang hangat dan menyenangkan, datang sesekali waktu – ingatan dalam bayangan singkat – untuk mengingat sesuatu yang sangat diharapkan dan menjadi gumulan yang menghidupkan suasana batin.
Well-being lebih dimaknai pada suasana batin yang positif berupa kepuasaan, kebahagian; mencakup lahir dan batin. Dengan kata lain Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan adanya keterikatan untuk dapat berhubungan dengan orang lain secara positif, memahami diri pribadi, otonomi, memahami tujuan dan makna dalam kehidupan. Kesejahteraan psikologis diperoleh dengan mencapai kondisi keseimbangan yang dipengaruhi oleh peristiwa kehidupan yang menantang dan bermanfaat.
Dalam dunia kerja, berbagai perasaan psikologis sering muncul. Perasaan cemas misalnya dapat hadir ketika seorang melakukan kesalahan, lupa terhadap tugas yang akan dikerjakan, deadline waktu mendesak, mendapat informasi pemutusan kerja (PHK), atau cemas menjelang pensiun dini bagi pegawai negeri (PNS). Kondisi psikologis tersebut lumrah terjadi, namun menjadi negatif ketika tidak dikondisikan secara baik. Sejalan dengan kecemasan menghadapi pensiun dini bagi PNS misalnya, penelitian Arisanti & Hakim (2022) memperkuat pentingnya penting kesejahteraan psikologis.
Baca Juga Peran GenBi dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia
Penelitian itu memberikan gambarkan dari 25 responden, sebanyak 13 orang mengalami kecemasan tinggi (52%), 8 orang mengalami kecemasan sedang (32%), dan 4 orang mengalami kecemasan ringan (16%) dalam menghadapi pensiunan. Hasil temuan tersebut mengungkapkan bahwa semua responden sepakat bahwa kesejahteraan psikologis menjadi hal “mendasar” dan peting sekali. Kesejahteraan tersebut, seperti bersyukur atas kesehatan, memaknai kehidupan dan masyarakat sebagai pengalaman baru, membuat pilihan secara mandiri dan tanpa ikatan dengan orang lain, dan (4) menciptakan hubungan keluarga yang positif menjadi poin penting dalam menjalani akhir masa pensiun dan sekaligus sumber kesejahteraan psikologis mereka.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, upaya menjaga kesejahteraan psikologis harus dimulai dari hal-hal yang kecil di dalam diri kita dan lingkungan kita bekerja. Melihat sisi positif dari orang lain dan memandang setiap pekerjaan sebagai sesuatu tantangan dan hal yang baru untuk kita kerjakan adalah wujud dari “well-being” itu sendiri. (*)
Post Views:
2
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar