Tanggapan Kuasa Hukum Siwe: SHM 511 dan 507 Milik Ali BD Banyak Kejanggalan !

ProSumbawa samawarea.com (4 Desember 2021) SUMBAWA–Tanggapan yang disampaikan Dr. H. Moch. Ali Bin Dachlan (Ali BD) melalui kuasa hukumnya, Basri Mulyani, SH., MH., terhadap sengketa lahan di Samota, Kabupaten Sumbawa, dijawab Sri Marjuni yang akrab disapa Siwe. Pasalnya, klarifikasi dari Ali BD menyimpang dari fakta yang ada. Karena itu Siwe melalui kuasa hukumnya, Imam Wahyuddin SH MH perlu meluruskan dan menyampaikan fakta-fakta hukum terhadap persoalan lahan tersebut. Dalam jumpa persnya, Jumat (3/12) malam, Imam yang didampingi Siwe, menyatakan sangat setuju dengan Ali BD dan kuasa hukumnya, bahwa keberadaan mafia tanah di Samota harus diberantas habis sampai ke akar-akarnya agar carut-marut sengketa tanah Samota menjadi terang benderang dan Sumbawa menjadi kondusif, masyarakat tidak terdzolimi, dan pembangunan bergeliat terutama pariwisata sehingga lapangan kerja tersedia. Imam menyampaikan terima kasih kepada pihak kepolisian yang telah merespon laporannya terkait pengrusakan properti di atas tanah milik kliennya dengan SHM No. 1180, sekaligus membuka laporan yang pernah diadukan pada Tahun 2015 terkait pengrusakan pagar dan penyerobotan lahan yang diduga dilakukan Ali Bin Dahlan dengan cara memerintahkan Abdul Azis AB. Saat itu semua pagar dipotong menggunakan chainsaw dan alat berat hingga rata dengan tanah untuk menghilangkan batas alam di atas tanah SHM 1180 milik kliennya. Setelah pagar dibabat, kemudian memagarnya kembali dengan pagar beton dan menguasainya dengan dalil bahwa tanah tersebut berada di atas sertifikat tanah miliknya SHM nomor 511 dan 507. Padahal di dalam sertifikat itu tidak ditemukan nama Ali Bin Dahlan, melainkan nama Ahli Waris dari Made Sinar yaitu Sangka Suci SH., Putu Candrawaty, Ni Made Tjandri, dan Hajjah Siti Mariam. Artinya terlepas dari benar atau hasil rekayasa SHM 511 dan SHM 507, ungkap Imam, telah secara  jelas dan nyata Ali Bin Dahlan bukan pemiliknya karena bukti kepemilikan masih atas nama orang lain. Atas Perbuatan Ali Bin Dahlan yang menguasai tanah milik kliennya dengan menggunakan SHM yang jelas dan nyata bukan atas namanya, adalah kekeliruan yang berdampak pidana. Seharusnya ketika melihat ada papan nama bertuliskan “Tanah milik Aurora SHM Nomor 1180” dan ada pagar, Ali BD melakukan upaya hukum perdata menggugat kliennya ke pengadilan. Ketika ada keputusan pengadilan yang bersifat eksekutorial dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan tanah itu adalah milik Ali Bin Dahlan sebagaimana penetapan eksekusi, barulah pagar dieksekusi dan tanahnya dikuasai. Bukannya melakukan pengerusakan dan penyerobotan tanah sebelum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. “Ini yang sangat kami sesalkan seolah-olah hukum itu tidak ada sehingga mengenyampingkan upaya hukum,” imbuhnya. Selanjutnya, pernyataan Basri Mulyani selaku pengacara Ali BD bahwa kliennya (Sri Marjuni) memperoleh tanah dari mafia tanah, menurut Imam, sangat mengada-ada dan jelas keliru. Justru sebaliknya kuat dugaan, yang menjadi korban mafia tanah adalah Ali Bin Dahlan. Sebab sejak SHM 511 dan 507 terbit pada tahun 1983, yang mengaku pemilik SHM tersebut tidak pernah berani menggunakan SHM-nya untuk menguasai tanah yang saat ini dikuasai Ali BD sejak 2015. “Sudah pasti tidak berani karena jelas dan nyata SHM 511 dan 507 tidak berada di atas tanah SHM 1180. Karena itu SHM 511 dan 507 diragukan keabsahannya dan patut diduga produk mafia tanah,” bebernya. Kejanggalan lainnya sebut Iman, pada SHM 511 dan SHM 507 yang dikantongi Ali BD, memiliki batas-batas sebagaimana peta bidang. Salah satunya adalah sebelah utara berbatasan dengan laut. Sedangkan posisi laut tidak pernah berubah dan selalu berada di barat. Batas laut sebelah barat ini merupakan batas lahan sesuai SHM 1180 milik kliennya. Dan ini diperkuat dengan telah dilakukan pengembalian batas oleh BPN Sumbawa pada 4 Desember 2014 lalu. Baca Juga  Pasar Seketeng Mulai Tidak Aman Kemudian Pemohon SHM 511 dan 507 dengan nama yang terbit pada sertifikat berbeda. Pada SHM 511 pemohon sertifikat dilakukan oleh Sinar dan batas-batas tanah ditunjuk oleh Sinar. Padahal Sinar bukan pemilik tanah. Namun SHM 511 terbit atas nama L. Hasan Mustami sebagai pemilik tanah yang sah pada 25 April 1983. Sementara L. Hasan Mustami tidak pernah melakukan permohonan dan menunjuk batas-batas tanahnya untuk diterbitkan SHM. Sebab L. Hasan Mustami saat diterbitkan SHM 511 sudah meninggal dunia pada 24 Agustus 1979. “Perbuatan Sinar tidak berhenti pada penerbitan SHM 511 dengan prosedur yang salah namun berlanjut pada perbuatan membalik nama secara sepihak menggunakan AJB 4 November 1980 jauh setelah pemilik SHM 511 L. Hasan Mustami meninggal dunia. SHM 511 pada tanggal 14 Agustus 2009 dibalik nama kepada ahli waris Made Sinar yaitu, Sangka Suci SH, Putu Candrawaty, Ni Made Tjandri, dan Hajjah Siti Mariam. Sampai saat ini sepengetahuan kami atas SHM 511 belum ada balik nama kepada orang lain meskipun Ali Bin Dahlan dalam keterangannya mengaku telah membeli SHM 511 itu dari Sangka Suci, SH,” ungkapnya. Ketika Ali Bin Dahlan sebagai pembeli beritikat baik mengaku telah membeli SHM 511 dari Sangka Suci, SH pada tahun 2008 berdasarkan pernyataan kuasa hukumnya Basri Mulyani di sejumlah media, sangat bertentangan dengan fakta bahwa kepemilikan SHM 511 baru beralih kepada Ahliwaris Made Sinar tepatnya pada tanggal 14 Agustus 2009. Artinya ketika dibeli oleh Ali Bin Dahlan tahun 2008 SHM 511 belum beralih kepada Ahliwaris Made Sinar yaitu Sangka Suci SH, Putu Candrawaty, Ni Made Tjandri, dan Hajjah Siti Mariam. “Seharusnya Ali Bin Dahlan meneliti terlebih dahulu SHM 511 apakah diperoleh dengan cara yang benar dan memastikan apakah objek tanah tersebut berada di atas tanah yang saat ini dikuasainya menggunakan SHM 511 yang jelas dan nyata antara batas-batas tanah yang dikuasainya berbeda dengan batas-batas tanah yang ada di dalam SHM 511 yang digunakannya untuk menguasai tanah tersebut,” imbuhnya. Perbuatan Ali Bin Dahlan, lanjut Imam, sangat merugikan kliennya yang terlebih berada di tanah tersebut sebelum Ali Bin Dahlan masuk secara paksa dan melanggar hukum merusak pagar, menghilangkan tanda batas alam dan melakukan penyerobotan sebelum adanya keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan bersifat eksekutorial. Besar kemungkinan pada saat dilakukan penguasaan fisik oleh Ali Bin Dahlan dengan cara melanggar hukum di atas objek tanah milik kliennya, belum memiliki legal standing terhadap tanah yang dikuasainya. Karena sampai detik ini SHM 511 masih atas nama Ahli Waris Sinar yaitu Sangka Suci SH, Putu Candrawaty, Ni Made Tjandri, dan Hajjah Siti Mariam. Karena satu-satunya bukti kepemilikan yang sah atas tanah hak milik adalah SHM, sedangkan kwitansi merupakan bukti pembayaran bukan bukti kepemilikan. “Pernyataan rekan Basri (kuasa hukum Ali BD) dalam sejumlah media masih menyisakan tanda tanya besar apakah benar SHM 511 telah beralih kepada Ali Bin Dahlan atau justru belum ada peralihan hak sampai saat ini. Mengingat keterangannya membeli dari salah satu Ahliwaris yaitu Sangka Suci SH sementara SHM 511 adalah milik bersama dari Ahli waris bernama Putu Candrawaty, Ni Made Tjandri, dan Hajjah Siti Mariam. Apakah proses peralihan hak tersebut sudah selesai dan memenuhi pasal 1320 KUHPerdata syarat sah perjamjian dan dilakukan oleh semua Ahli Waris dari Made Sinar ?” tanyanya, seraya menegaskan dengan paparan ini semakin jelas siapa mafia dan siapa korban mafiah tanah. Baca Juga  Korupsi Tong Sampah 1,6 Tahun Penjara Dalam kesempatan itu Imam Wahyuddin juga menanggapi pernyataan kuasa hukum Ali BD yang menyebutkan Sri Marjuni telah menempuh berbagai upaya hukum. Imam membenarkannya namun hasilnya tetap belum mendapat keadilan. Upaya hukum yang dilakukan kliennya adalah gugatan di Pengadilan Negeri Sumbawa ditolak kerena kewenangan absolut yang mengadili harus PTUN. Gugatan di PTUN pun ditolak karena batas waktu habis 90 hari. Artinya semua keputusan tersebut NO (Niet Ontvankelijke verklaard) bukan berarti menggugurkan fakta hukum bahwa kliennya pemilik tanah sebenarnya. Atas hal tersebut perlu dilakukan gugatan ulang atau menempuh upaya lain. “Hemat kami saat ini tidak perlu dilakukan gugat ulang karena sudah jelas dan nyata dengan adanya pengembalian batas bahwa tanah itu milik klien kami dan apabila ada gangguan maka sudah sewajarnya dilaporkan pidana dan saat ini sudah kami jalankan,” tegasnya. Di bagian lain, Imam perlu menjelaskan siapa Made Sinar atau yang biasa dipanggil Sinar. Sinar adalah istri dari I Gede Bajra, berdomisili di Lombok dan berprofesi sebagai spekulan tanah (broker). I Gede Bajra ini datang ke Sumbawa untuk mencari tanah dan akan dijual kembali kepada investor yang tertarik berinvestasi di Sumbawa. Status kependudukan dari I Gede Bajra dan Made Sinar oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 biasa dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 dilarang untuk memiliki tanah pertanian di luar dari wilayah kecamatan tinggalnya, biasa dikenal dengan status absentee. Sehingga sangat mustahil Ketika Sinar yang berdomisili di Lombok memiliki tanah atas namanya langsung di Sumbawa. Sementara Sumbawa dan Lombok beda kabupaten. “Jadi besar dugaan bukti kepemilikan SHM 511 dan 507 adalah hasil rekayasa karena ketika dilakukan dengan prosedur yang benar tentunya akan ditolak oleh BPN atau instansi yang berwenang saat itu untuk menerbitkan SHM 511 dan 507,” tandasnya. Pihaknya menduga SHM 511 dan 507 merupakan hasil rekayasa yang hanya digunakan oleh I Gede Bajra untuk keperluan mencari pembeli tanah saat itu. Menurutnya SHM 511 dan SHM 507 tidak bernilai sama sekali untuk digunakan sebagai dasar kepemilikan atas tanah di Samota atau digunakan sebagai alas hak. “Dugaan kami sangat berdasar karena sejalan dengan pengakuan dari Ibu Sangka Suci salah satu ahli warisnya kepada klien kami dan kami masih menyimpan rekaman itu. Bahwa Ibu Sangka Suci menemukan setumpuk sertifikat di lemari yang tidak diketahuinya di mana letak tanahnya, dan disaksikan oleh beberapa orang saat Ibu Sangka Suci menyampaikan hal itu,” sebutnya. Ia mengakui masih banyak bukti-bukti lain yang mengarah kepada kejanggalan SHM 511 dan SHM 507 yang dijadikan dasar oleh Ali BD untuk menguasai lahan SHM 1180. Namun dia tetap berharap agar sengketa berkepanjangan ini selesai dengan aman dan damai, semua pihak bisa tersenyum agar dapat bersama-sama membangun Sumbawa untuk kemaslahatan masyarakat dan daerah,” pungkasnya. (SR) Adblock test (Why?)

Komentar