ProSumbawa Oleh: Shafwan Amrullah, S.T., M.Eng. (Dosen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Teknologi Sumbawa)
OPINI, samawarea.com (13 September 2021)
Energi listrik saat ini merupakan hal vital dalam kehidupan. Pada pemerintahan Pak Jokowi periode pertama pun, telah dicanangkan pendirian pembangkit listrik sekala besar dengan menargetkan 35 ribu Megawatt (MW). Walaupun demikian, rencana ini pada akhirnya masih dilaksanakan hingga saat ini.
Strategi utama yang digunakan dalam mewujudkan rencana tersebut tentu saja berupa pembangunan pembangkit listrik dengan bahan bakar yang cukup mudah ditemukan bahkan murah harganya, misalkan saja batu bara.
Saat ini, bahwa Indonesia kebetulan juga merupakan salah satu penghasil batu bata terbesar di Dunia, dengan macam jenis yang telah diketahui secara umum.
Batu bara sendiri memiliki empat kelas, yang dibedakan berdasarkan kualitasnya. Dari hasil riset para ahli di seluruh dunia, telah diketahuai jenis-jenis batu bara secara umum, yaitu seperti anthracite, bituminous, sub-bituminous dan lignite. Akan tetapi, pembangkit listrik batu bara yang digunakan di Indonesia di dominasi oleh kelas sub-bituminous dengan kelas low rank coal, atau batu bara dengan kualitas paling rendah, hal ini dikarenakan jumlah kandungan batu bara jenis ini masih cukup besar di Indonesia, yaitu sekitar 86% dari deposit batu bara Nasional.
Beberapa ahli memberikan hasil uji tentang batu bara ini tentunya berdasarkan kriteria tertentu, seperi hasil uji proximate batu bara jenis low rank coal di Indonesia yaitu 18,29% untuk moisture content, volatile matter 38,40%, ash content 12,544%, fixed carbon 30,76%, dan nilai kalor sebesar 4.739,24 kkal/kg.
Dari data tersebut, para ahli pun berpendapat bahawa dengan kandungan atau kualitasa batubara seperti ini, maka pada tahap pembakaran yang dihasilkannya dapat menghasilkan limbah udara yang cukup besar dengan kemungkinan dampak terhadap kesehatan yang perlu dianalisis secara ketat.
Pada saat yang bersamaan, program pembangkitan listrik sekala besar tidak hanya menyentuh daerah jawa bali, akan tetapi seluruh Indonesiapun merespon dengan baik. Kendati bahwa pada dasarnya daerah di luar Jawa dan Balilah yang masih kekurangan listrik. Namun dengan adanya permasalahan seperti emisi, membuat penggunan batu bara sebagai bahan bakar utama menjadi perhatian khusus, terutama prihal emisi gas buang yang dihasilkannya.
Provinsi Nusa Tenggara pada posisi ini juga meresponnya dengan baik, dimana telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan Utama batu bara jenis Low rank Coal juga. Telah diketahui bahwa, pada tahun 2020 NTB telah memiliki beberapa lokasi pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, akan tetapi PLTU yang terbesar berada di daerah Dusun Jeranjang, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Baca Juga Rayakan HUT RI, PETANG Tanam Kelapa di Pulau Meriam
Kapasitas pembangkitan listrik yang sudah berjalan untuk PLTU ini adalah 75 MW yang terbagi dalam 3 unit pembangkit. Masing-masing pembangkit memiliki kapasitas 25 MW. Dilihat dari kapasitas pembangkitan listrik PLTU Jeranjang, dapat diprediksi bahan baku batu bara jenis ini yang akan dikonsumsi sangatlah besar. Sehingga, dengan begitu, tentu saja para ahli akan cepat mengetahui bahwa emisi yang dihasilkan pastilah sangat besar da berbahaya.
Para ahlipun telah menguji bahwa pembakaran batu bara menghasilkan gas buang yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup, dimana dari pembakarannya dihasilkan gas buang berupa CO2, NOx, SOx dan impuritis yang notabene merupakan gas yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Dengan demikian, dari gas buang tersebut, perlu dilakukannya simulasi dan perhitungan secara teoritis maupun secara real ke lapangan tentang persebaran dan dampak dari gas buang tersebut, agar pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia dan khususnya di NTB aman dan tidak mengganggu kelangsungan hidup dari makhluk hidup sekitarnya.
Dengan adanya kemungkinan permasalah yang mungkin timbul oleh karena adanya pembangkitan listrik berhabahn baku batu bara, khususnya di daerah NTB, para Dosen dari Program Studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Teknologi Sumbawa mencoba melakukan simulasi dan prediksi menggunakan beberpa metode ilmiah yang telah digunakan, sehingga diketahui seberapa besar potensi dispersi dan kemungkinan jumlah kematian yang akan disebabkan oleh gas buang, khususnya untuk gas SO2, dan CO2.
Pada prakteknya, ada beberapa metode yang telah digunakan untuk mengetahui pola persebaran gas buang hasil dari pembakaran batubara. Salah satunya adalah dengan menggunakan Gaussian Model, dan dengan pendekatan model Plume dan Puff. Model ini dikeluarkan oleh dua orang ilmuan yaitu Crowel and Loucar untuk memprediksi persebaran polutan (Xmax) pada jarak tertentu sehingga kita dapat mengetahui konsentrasi polutan di permukaan tanah (Ground Level Concentration Maximum).
Selain itu, telah banyak penelitian tentang gas buang hasil pembakaran batubara, misalkan yang dilakukan oleh Kusman, yang telah melakukan sebuah simulasi persebaran gas buang dan partikulat dari cerobong asap pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Jepara yang menggunakan bahan bakar batubara. Baca Juga Dilantik Sebagai Direktur PDAM Sumbawa, Juniardi Diberikan Waktu 2 Tahun
Pada kasus ini, ia menggunakan model Computational Fluid Dynamics (CFD) dengan memvariasikan kecepatan udara. Dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa, dari kontur penyebaran gas buang yang diperoleh pada proses simulasi tanpa menggunakan cerobong pembuangan menghasilkan dengan kecepatan udara yang rendah, gas buang lebih pekat dan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kecepatan udara, namun nilai maksimum konsentrasi gas buang sama di setiap variasi kecepatan udara.
Akan tetapi, simulasi yang sangat mutakhir seperti model dispersi Gauss untuk memprediksi jarak pada arah penyebaran polutan yang diberi simbol Xmax dalam mengetahui kadar konsentrasi polutan maksimum yang berada di permukaan tanah (Ground Level Maximum Concentration) lebih disukai sebagai acuan. Sehingga, para dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian/TIP Universitas Teknologi Sumbawa yang diketuai oleh Shafwan Amrullah yang memang ahli di bidang pengendalian pencemaran lingkungan sepakat menggunakan model dispersi Gauss. Objek uji yang digunakan tentu saja PLTU Jeranjang yang terbesar di NTB. Dari hasil penelitin ini mereka dapat menghasilkan gambaran simulasi tentang apa yang terjadi ketika dilakukan pembangkitan listrik menggunakan batu bara jenis Low Rank Coal yang digunakan.
Dari hasil kerja keras para dosen TIP, Universitas Teknologi Sumbawa ini, dengan menggunakan Gaussian Model dengan metode puff diadapatkan kesimpulan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi dispersi gas SO2 hasil pembakaran PLTU batubara Jeranjang setiap detiknya dengan peningkatan jarak, dan berkurang hingga konsentrai SO2 habis terdispersi setelah menempuh jarak tertentu.
Konsentrasi SO2 meningkat dari 1×10-45 ppm hingga 1,9×10-5 ppm dari jarak 2.000 hingga 42.000 meter, kemudian menurun hingga konsentrasi bernilai 0 ppm. Sedangkan %fatality yang dihasilan dari jarak 2.000 hingga 62.000 meter bernilai 0%. Sehinga, pada lokasi 1 sampai 4 dapat dikatakan tidak terdampak oleh gas SO2 serta nilai fatality menunjukkan nilai 0%. Untuk konsentrasi dispersi gas CO2 hasil pembakaran PLTU batubara Jeranjang setiap detiknya meningkat dengan meningkatnya jarak dispersi. Dimana, konsentrasi CO2 meningkat dari 2.000 hingga 58.000 meter, yaitu dari 2,7 x 10-65 ppm hingga 0,00184 ppm, lalu menurun hingga mencapai angka 0 ppm. Sedangkan %fatality yang dihasilkan dari penambahan jarak adalah 0%. Sehingga, pada lokasi 1 sampai 4 dapat dikatakan tidak terdampak oleh gas CO2 serta nilai %fatality menunjukkan nilai 0%. Gambaran tentang lokasi titik perseberan untuk uji simulasi dapat dilihat pada gambar di bawah. (*)
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar