KONSEP EKOLOGI INDUSTRI SEBAGAI SOLUSI DEGRADASI LINGKUNGAN DAN KELANGKAAN PUPUK DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

ProSumbawa Oleh: Shafwan Amrullah, S.T., M.Eng. Dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Teknologi Sumbawa OPINI, samawarea.com (2 September 2021)   Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) secara keseluruhan saat ini mengalami dua masalah utama, yaitu masalah degradasi terhadap lingkungan yang dibarengi oleh kelangkaan pupuk yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Kekhawatiran semua kalanganpun saat ini semakin menjadi-jadi yang ditandai dengan kemampuan NTB dalam mengelola sampah belumlah sebaik daerah seperti Surabaya dengan Pembangkitan Listrik Tenaga Sampahnya. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang tersedia hanya sebagai lahan buang, tanpa adanya pengelolahan sampah lebih lanjut. Saat ini hampir semua warga NTB sudah sangat faham bahwa sampah yang terbuang ke lingkungan sangatlah besar, bahkan data dari Kemneterian Lingkungan Hidup (KLHK) NTB mencatat bahwa sampah yang dihasilkan secara keseluruhan di NTB diperkirakan sebesar 3.338,76 ton/hari. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa 2.695,63 ton/hari terbuang ke lingkungan sebagai limbah dan sampah tak terkendali. Tanpa disadari, bahwa 60% dari total sampah tersebut merupakan sampah sisa hasil pertanian, yang jika diteliti bahwa sampah sisa hasil pertanian ini merupakan potensi terbaik untuk mensubtitusi kebutuhan akan pupuk sintetik yang notabene masih bergantung pada pasokan dari negara. Selain sampah organik sisa hasil pertanian tersebut, besarnya jumlah peternakan di NTB memberikan efek besar pula terhadap lingkungan, terutama limbah hasil pembuangan fases dan urin. Sebagaimana yang telah diteliti oleh tim penelitian Program Studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Teknologi Sumbawa yang menemukan bahwa limbah yang dihasilkan pada setiap peternakan sapi adalah 2 kg feses pada setiap kilogram susu yang dihasilkan. Selain itu terhitung pula setiap 1 kilogram daging sapi atau kerbau menghasilkan 25 kg feses. Dari data ini, dengan bertambahnya jumlah peternakan sapi, tentunya akan menambah jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan. Sedangkan diketahui bahwa limbah peternakan ini sangat berbahaya bagi lingkungan. Urin sapi dapat mencemari daerah aliran sungai (DAS) dengan sangat parah. Dimana limbah cair peternakan di sekitar daerah tersebut pembuangan tersebut dapat menyebabkan DAS memiliki nilai BOD 981,388 mg/l dan kadar COD 2970,3 mg/l. Tentu nilai ini sangat tinggi melambung di atas ambang batas yang telah ditentukan. Baca Juga  DPR: Angka Elektrifikasi Harus Sesuai Dengan Realitas ! Di Negara maju sekelas Denmark pada mulanya juga pernah mengalami hal tersebut, akan tetapi inovasi terus dilakukan untuk mencegah keberlanjutan dari kasus semacam ini. Salah satu yang dilakukan alah menerapkan sebuah konsep penting yang dapat merubah peta perseberan dari sampah orgnaik dan limbah peternakan seperti ini, yaitu dengan Konsep yang diketahui merupakan konsep efisiensi yang dikenal dengan Konsep Ekologi Industri (EIP). Konsep ini diketahui merupakan cerminan dari sifat organisme itu sendiri, yaitu ketika mati maka akan dimanfaatkan oleh makhluk hidup lain. Pada mulanya konsep ini berfokus pada penanganan limbah industri, yang mana limbah industri sendiri diketahui tidak bisa hilang secara keseluruhan, namun dapat digunakan kembali sebagai bahan baku untuk proses selanjutnya. Artinya dengan menggunakan konsep EIP dapat mencegah timbulnya limbah sekaligus memberikan solusi untuk produksi jenis produk yang berbeda. Denmark pada akhirnyapun menggunakan ini untuk memecahkan masalah pertaniannya. Denmark dengan kawasan EIP nya di Kalunborg yang terkenal dapat mengkombinasikan pertanian dengan peternakan sehingga menghasilkan sebuah konsep EIP yang dapat mensubtitusi kekurangan pupuk sekaligus mencegah terjadinya pembuangan limbah pertanian dan peternakan ke lingkungan. Alhasil, para petani tidak perlu lagi mengantri untuk membeli pupuk, karena sudah tersedia di samping mereka pertenakan yang dapat mensuplai kebutuhan pupuk dari fases dan urin ternak. Bahkan supali bahan baku pupuk ini juga bisa langsung didapatkan dari sisa hasil pertanian yang ada, yaitu melalui proses biologi yang dikenal dengan fermentasi. Nah saat ini, konsep EIP ini sangat penting untuk diadopsi oleh Negara agraris seperti Indoneisa, terutama NTB yang masih memiliki lahan dengan angka yang mendominasi di Indonesia. Diketahui bahwa BPS mencatat besar lahan pertanian NTB sebesar 256.229 hektar. Selain itu NTB memiliki lahan ternak yang juga tidak kalah besar. Sehingga dengan adanya sebuah potensi yang cukup baik ini, diharapkan NTB segera mengadopsi konsep semacam ini. Dari permasalahan ini, Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP), Universitas Teknologi Sumbawapun dengan ketua tim Kepala Program Studinya yaitu Shafwan Amrullah melakukan evaluasi dan perancangan konsep Ekologi Industri dalam mengatasi masalah lingkungan yang dihasilkan dari limbah pertanian dan peternakan pada sebuah kelompok tani dan ternak yang bernama Kelompok Tani Tojang Maju 3. Kelompok ini berada di Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok timur, Nusa Tenggara Barat. Lokasi ini dirasa sangat tepat, sebab ketersediaan lahan pertanian dan peternakan sapi dan kambing. Baca Juga  Ribka Ciptaning Desak Pemda KLU Benahi Pendistribusian Air Bersih Penelitian secara detail dilakukan dengan sistem perhitungan kuantitatif berupa pengukuran secara nyata di lapangan, wawancara, dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini diharapkan mengeluarkan sebuah data kuantitaatif dan mass flow serta disain menyeluruh tentang penerapan konsep EIP dalam rangka mewujudkan sistem pertanian dan peternakan terintegrasi dan mandiri di NTB. Hasil evaluasi secara ilmiah memperlihatkan bahwa dihasilkannya design konsep Ekologi Industri yang dapat mengurangi bahkan meniadakan pembuangan limbah sisa peternakan dan pertanian di Kelompok Tani Tojang Maju 3. Dimana disain yang dihasilkan berupa penggunaan pupuk organik cair (POC) di sektor pertanian sebanyak 280,5 liter untuk padi, 37,4 liter untuk pertanian cabe, dan 37,4 liter untuk pertanian kol serta selebihnya (2.281 liter) dijual sebagai sumber ekonomi kelompok tani. Setelah itu jerami yang dihasilkan oleh pertanian padi (57.000) digunakan sebagai pembuatan silase dengan kebutuhan sebesar 4.957,2 kg. Jerami padi juga dimanfaatkan pada sektor pertanian cabe sebagai mulsa dengan kebutuhan sebesar 1.140 kg/3 bulan. Sedangkan selebihnya (50.903 kg) dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gas sintetik untuk sumber gas bakar bagi kelompok tani. Selain itu sisa hasil pertanian cabe dan kol seluruhnya digunakan sebagai bahan baku biogas yaitu sebesar 70.300 kg yang dimanfaatkan oleh kelompok tani sendiri. Untuk fases sapi pada penelitian ini diumpankan ke digester biogas sebagai bahan baku biogas peternakan untuk konsumsi rumah tangga para kelompok. Disain yang dihasilkan secara visual dapat dilihat pada Gambar di bawah. Dari hasil perhitungan dan disain tersebut, NTB secara keseluruhan dapat menggunaannya sebagai solusi tepat untuk mengatasi masalah lingkungan, kelangkaan pupuk, bahkan ekonomi ke depannya. Apalagi untuk keadaan pandemi bekerpanjangan seperti ini memungkinkan setiap inovasi seperti EIP dalam dunia pertanian sangat diperlukan. Bahkan diketahui EIP untuk kasus seperti ini tidaklah membutuhkan biaya yang besar. (*) Adblock test (Why?)

Komentar