ProSumbawa OPINI, samawarea.com (15 September 2021)
Standar kecantikan berbeda-beda di setiap Negara. Di korea misalnya, kecantikan identic dengan badan kurus, kulit putih mulus, dagu tipis dan mata lebar serta wajah oval. Menyelisihi fitur wajah asli daerah setempat yang memiliki fitur; wajah segi empat, dagu datar, kulit putih pucat, dan badan berperawakan agak lebar.
Di Indonesia cantik identic dengan hidung mancung, rambut panjang lurus, kulit putih bersinar, tidak gemuk tidak kurus dengan jumlah index mass body di atas 17 dan dibawah 27. Adapun di Eropa cantik di-identikkan dengan kulit eksotis, hidung tidak mancung tidak pesek, bibir tidak tipis alias berisi, rambut setengah bergelombang, dan yang pasti kurus dengan IMB rata-rata 18-an.
Berbeda dengan di Afrika cantik identic dengan badan subur dan besar, bahkan ditemukan beberapa trend di masa kini pasangan laki-laki mengalami kepuasan seksual tertentu ketika memberikan makanan yang banyak kepada pasangannya, fenomena ini dikenal dengan istilah feederism. Feederism adalah kepuasan seksual tertentu ketika menyuapi pasangan dengan makanan yang banyak. Pasangan yang memberikan makanan disebut feeder dan penerima makanan disebut feeded.
Kebanyakan feeder adalah laki-laki dan feeded adalah perempuan, beberapa laki-laki memiliki fetish tertentu ketika melihat pasangannya gemuk atau bahkan mengalami obesitas yang menghambat pasangan perempuan tak mampu bergerak atau immobile.Praktik feederism banyak dikritisi oleh beberapa kalangan praktisi medis dan penggiat lingkungan dikarenakan feedrism tidak mendukung pola hidup sehat dan menyebabkan konsumsi makanan berlebih tanpa memikirkan keberlangsungan ekosistem berkelanjutan.
Secara umum standar kecantikan di dunia dibagi menjadi dua, yakni standar kecantikan perempuan timur dan barat. Standar kecantikan timur dipraktekan pada perempuan Asia yang kebanyakan berkulit agak gelap atau coklat. Standar kecantikan barat dipraktekan pada perempuan Eropa dan Amerika yang kebanyakan berkulit putih dan berambut pirang.
Di kalangan perempuan Asia berkulit coklat, cantik identic dengan kulit putih, rambut luruts, dan hidung mancung. Sehingga tidak jarang produk kecantikan krim pemutih, obat dan alat penglurus rambut, serta tawaran operasi plastic memancungkan hidung menjadi komuditas utama bisnis industry kecantikan.
Di korea sebagai Negara yang mempromosikan operasi plastif secara massif, terdapat satu distrik khusus di Ibukota Korsel Seoul yang menawarkan operasi kecantikan. Ada meme terkenal bahwa hadiah kenaikan kelas bagi anak-anak SMP dan SMA di Korsel adalah operasi plastic.
Di Indonesia sendiri, krim pemutih laku keras dan beberapa pemiliki bisnis ini mendadak menjadi milyader.
Bertolak belakang dengan Asia, Eropa dan Amerika sebagai Negara dengan jumlah perempuan kulit putih terbanyak memiliki standar kecantikan yang berbeda.
Di kalangan perempuan kulit putih Eropa dan Amerika, kecantikan diidentikan dengan kulit coklat, bibir penuh, body gitar, dan rambut bergelombang tidak pirang dan juga tidak hitam. Transformsi kecantikan di Amerika telah mengalami masa yang cukup panjang, dimulai dari masa Kolonial Inggris terhadap Amerika. Pengurangan jumlah hidup warga asli Amerika Aborigin, Perbudakan terhadap bangsa kulit hitam dan pengesampingan hak-hak minoritas serta imigran.
Transformasi massif dimulai sekitar pertengahan abad ke-19 M yakni se-usai perang dunia II. Dahulu di masyarakat konservatif Amerika bangsawan adalah orang Eropa berkulit putih, mata biru, dan rambut pirang. Menurut catatan sejarah dalam ilmu Kesusastraan Inggris Amerika ditemukan bahwa bangsa Eropa yakni Negara Inggris menjajah Amerika dalam kurun waktu yang cukup lama, pada abad ke tujuh belas pasukan Amerika sejumlah 70 orang melawan pasukan Inggris beserta sekutu dan Armada perangnya sejumlah lebih dari 10.000 tentara dan kavalerinya. Ini adalah peperangan yang memakan waktu yang cukup lama.
Peperangan dimenangkan oleh pasukan Amerika dan Amerika mengumumkan kemenangan yang spektakuler atas pasukan inggris dan sekutunya. Abad ini dikenal dengan abad kejayaan bagi Amerika. Setelah perang berlalu sisa-sisa kolonialisme masih ada namun tidak seperti pada saat kolonialisme, jika pada saat kolonialisme kalangan kelas atas identic dengan kulit putih, berpendidikan dan diberi label cantik/ganteng. Baca Juga Ketidakefektifan Perpustakaan Sekolah Sebagai Sarana Penunjang Pembelajaran Siswa
Adapun kelas bawah yakni budak adalah bangsa kulit hitam dan minoritas. Setelah penjajahan di awal perang dunia dua, sekitar tahun 1980-an pada saat wacana mengenai kebebasan hak kulit hitam mulai menguat mulailah variasi kecantikan tidak didominasi oleh bangsa kulit putih. Model-model majalahpun mulai terlihat perempuan kulit hitam dan kulit coklat.
Dahulu cantik selalu diidentikkan dengan rambut pirang dan kulit putih yang terlihat urat nadi berwarna biru. Dari sini pulalah bangsawan darah biru di ambil yakni dari warna kulit yang terlihat urat nadi yang berwarna biru. Sehingga disebut bangsawan berdara biru. Pada 1980-an masa peralihan mulai terlihat massif, orang-orang Eropa serta Amerika beranggapan bahwa memiliki kulit eksotis adalah cantik dan menunjukan status sosial seseorang. Menunjukan status sosial berarti perempuan Eropa kauskasoid yang memiliki kulit coklat eksotis adalah perempuan berduit yang mandiri, mampu bekerja menghasilkan uang serta memiliki banyak waktu untuk berlibur ke Negara tropis.
Berlibur untuk berjemur di bawah sinar matahari Negara tropis, sun bathing. Pergeseran paradigma atau perspektif ini didukung oleh semakin massifnya para pemuda Eropa dan Amerika di masa sekarang yang mulai sadar bahwa paradigma kolonialisme dan impereliasme penjajahan yang di-setting oleh leluhur mereka dahulu adalah keliru, salah, dan perlu diperbaiki.
Jadi tidak heran, jikalau pada saat musim panas warga Eropa yang tidak mampu berlibur dan bepergian ke Negara tropis untuk menghabiskan uang membeli krim murahan di negaranya untuk mencoklatkan wajah mereka atau membuat wajah mereka memiliki bintik-bintik hitam di sekitar area antara mata dan pipi seakan-akan habis berjemur, sun bathing. Tutur Ahmad Adha (Alumni Unhas dan alumni program Fullbright Amerika-Indonesia) dan Afina (Alumni IPB dan alumni LPDP Lund University Eropa).
Di Negara berkembang dan Negara-negara kaya pemikiran tentang cantik beserta entitasnya mulai bertransformasi menjadi lebih baik dan bijaksana. Jadi di Negara kaya dan berkembang mendefinisikan cantik sebagai putih, rambut pirang lurus, hidung mancung, dan mata lebar adalah sebuah bentuk stigma warisan penjajahan yang perlu dihilangkan.
Berbeda dengan di India, dimana dominasi perempuan berkulit coklat dan mendekati hitam. Warisan kolonial masih terlihat dan bercokol jelas. Terdapat satu liputan Vice India yang menayangkan bahwa beberapa oknum HRD di beberapa perusahaan tertentu tidak menerima pegawai perempuan yang berkulit gelap seberapa pintar dan rajin serta berintegritasnya pelamar pekerjaan tersebut.
Reporter Vice telah mewawancara beberapa perempuan untuk menemukan fakta di lapangan. Beberapa perempuan menjadi korban dari stereotype ini dan bahkan casting untuk pencarian artist pun, jika anda putih, maka tak perlu melakukan casting. Para juri langsung memilih aktor-aktor yang putih dan mengesampingkan actor berkulit coklat berbakat.
Tidak sedikit perempuan yang memiliki dana simpanan bahkan memutuskan untuk melakukan pemutihan kulit bleacing yang tidak murah walaupun dapat berisiko menimbulkan kanker penyebab kematian. Beberapa LSM membentuk LSM anti putih yang mengedepankan tetap menjadi India dan berkulit coklat merupakan pilihan dan cantik, black is beauty.
Di dunia yang open minded mestinya sisa-sisa pemikiran penjajahan dihapus. Dipangkas habis ke akar-akarnya.
Mari kita lihat di negara kita tercinta, Indonesia. Negara kepulauan; terdapat lebih dari 17.000 pulau berpenghuni dan tak berpenghuni. Terdapat lebih dari 500 bahasa daerah sekaligus sebagai bahasa Ibu. Masuk dalam lima besar negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia. Tersebar dari Papua Merauke hingga Aceh Sabang, pulau weh. Indonesia merupakan miniature dunia.
Papua, menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang masih terjaga. Diidentifikasi sebagai penduduk Polinesia, Polinesia berarti ras yang tersebar dari Bima NTB, NTT, Maluku, Papua Barat, Papua hingga Papua Nugini serta pulau-pulau kecil seperti pulau Tiwi di Negara bagian Australia Barat.
Perawakan Polinesia mirip perawakan Afrika dalam satu dan beberapa fitur wajah dan tubuh namun berbeda dalam beberapa fitur atau ciri tertentu, beberapa artikel popular dan ilmiah menyatakan secara eksplisit dan impilisit bahwa Polinesia merupakan keturunan asli Indonesia alias pribumi. Baca Juga Tim Penggerak PKK NTB Aktif Lakukan Aksi Pencegahan Covid-19
Adapun di Kalimantan perawakan tiongkok dan Melayu banyak tersebar bahkan ada satu Disertasi dosen Unhas yang menempuh studi Doktoral di Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa keturunan asli Indonesia adalah Austronesia yang berasal dari suku Ibanik Kalimantan, namun temuan beliau banyak ditentang oleh beberapa ahli yang tetap mempertahankan teori bahwa suku asli dan bahasa Malayu berasal dari Riau.
Adapun suku jawa berasal dari campuran pribumi, China, Arab Pakistan dan beberapa pendatang lainnya yang telah menetap lama, kajian tentang Suku Jawa dapat ditemukan di beberapa literatur. Sumatera banyak didominasi oleh Melayu. Jika kita melihat uraian singkat di atas ditemukan bahwa hal mustahil menyamaratakan definisi cantik sebagai, putih, body guitar, tinggi, mancung, rambut lurus, mata lebar, dan tidak banyak bicara.
Namun, kenyataannya walaupun telah lebih dari 70 tahun penduduk Indonesia merdeka secara fisik. Pemikiran kolonial dan inferior complex sangat nyata di dalam praktik kehidupan sehari-hari. Anggapan dan stigma terhadap wanita berkulit coklat dan gelap sangatlah jelas dinilai sebagai kelas inferior, jastifikasi serta stigma belum bisa dihilangkan sepenuhnya bahkan masih sangat tersisa dengan sangat jelas. Stigma dan steriotipe seperti inilah yang membuat perempuan merasa tidak nyaman, insecure dengan penampilan dirinya sendiri.
Hal ini menimbulkan perilaku dan sikap berupa membandingkan dirinya sendiri dengan ekspektasi dan harapan masyarakat di sekitar terhadap bagaimana seharusnya tubuhnya terwujud dalam bentuk, ciri, dan fitur tertentu. Sikap individu membandingkan bentuk tubuhnya terhadap ekspektasi masyarakat ini dikenal dengan social comparison. Adapun tubuhnya pribadi sebagai objek yang dia kuasai diharapkan mampu memenuhi ekspektasi psibadi dan sosial disebut body image.
Secara lebih rinci beberapa ahli di bidang terkait telah meneliti dampak psikologis antara social comparison dan body image. Diantaranya; pada tahun 2020 hingga 2021 seorang mahasiswa Psikologi Universitas Teknologi Sumbawa yang bernama Resna Septianingsih telah melakukan penelitian yang diberi judul “Pengaruh social comparison terhadap body image pada wanita di X fitness center Sumbawa Besar” dimuat dalam jurnal Psikologi UTS, Psimawa.
Resna telah menyebarkan questioner berisi skala psikologi; skala social comparison dan skala body image kepada responden yang menjadi anggota aktif X fitness center. Social comparison menurut Festinger didefinisikan sebagai proses subjektif seseorang membandingkan kemampuan dan penampilan dirinya dengan orang lain yang berada dalam lingkungan. Adapun body image menurut Cash dan Pruzinsky didefinisikan sebagai suatu penilaian individu terhadap bentuk tubuhnya.
Hasil temuan Resna menunjukan bahwa semakin tinggi social comparison maka semakin tinggi body image pada wanita. Ini bermakna, jika wanita terus menerus membandingkan penampilan dirinya dengan orang lain dalam lingkungannya maka semakin tinggi potensi dia menilai dan menjustifikasi bentuk tubuhnya sendiri.
Keadaan ini dapat menimbulkan psiko-somatis atau keadaan tubuh mengalami sakit dikarenakan keadaan psikologis yang tidak stabil. Beberapa perempuan mengalami anoreksia dikarenakan takut gemuk, anoreksia yakni sebuah perilaku memuntahkan kembali makanan setelah memakannya.
Sebagai seorang perempuan yang hidup di masa bebas akses informasi, tentunya ini hal yang menyedihkan sekaligus berita yang perlu menjadi perhatian bersama bahwa perempuan haruslah dianggap setara tidak peduli darimana asal dan bentuk penampilannya seperti apa, menilai perempaun dari tampilannya sebagai bentuk objek adalah bentuk ketidakadilan.
Ya, sungguhpun kita hidup di dunia virtual dan tidak menyangkal bentuk dan kecantikan sebagai salah satu dimensi yang menjadi tolak ukur tetapi itu bukanlah alat atau tolak ukur yang mutlak. Perilaku, kejujuran, terampil dalam bidang tertentu, dan etika serta kemampuan manjadi mandiri haruslah menjadi perhatian utama yang perlu kita tekankan sebagai bekal dan modal utama kepada perempuan agar bisa bertahan hidup di manapun dan kapanpun.
Oleh: Pratiwi Sakti, Pengajar tetap Bahasa Inggris di UTS
email: pratiwi.sakti@uts.ac.id
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar