ProSumbawa SUMBAWA BESAR, samawarea.com (24 Agustus 2021)
Belakangan ini, keberadaan Laboratorium Genetika Sumbawa (LGS) menjadi sorotan . Salah satunya dari Ketua Pansus Covid DPRD Sumbawa, Syamsul Fikri S.Ag., M.Si. Pasalnya, sejak pelayanan dan pemeriksaan PCR tidak lagi di Laboratorium Sumbawa Techno Park (STP) untuk wilayah Pulau Sumbawa, LGS menjadi penggantinya.
Keberadaan LGS yang berkantor di wilayah Kecamatan Badas ini telah mengantongi izin dari Kementerian Kesehatan yang diback-up dentgan SK Bupati Sumbawa dan rekomendasi propinsi. Namun yang disoroti adalah output dari hasil pemeriksaan PCR (swabtest) LGS ini tanpa dikoordinasikan dengan Satgas Penanganan Covid Kabupaten Sumbawa.
“Dari informasi yang kami peroleh, banyak kejanggalan dari keberadaan LGS ini,” kata Syamsul Fikri—sapaan Ketua Pansus yang juga Wakil Ketua DPRD Sumbawa belum lama ini.
Berdasarkan laporan, ungkapnya, selain melayani permohonan sejumlah rumah sakit di wilayah Pulau Sumbawa, LGS juga melayani masyarakat yang melakukan tes swab mandiri dengan biaya Rp 900 ribu per orang. Termasuk karyawan BRI maupun BNI Sumbawa.
Tapi, hasil dari pemeriksaan itu tidak dilaporkan ke Satgas Penananan Covid Kabupaten Sumbawa. Padahal ada beberapa dari karyawan bank berplat merah itu yang terkonfirmasi positif dan sejumlah lainnya yang menjalani isolasi mandiri. Selain itu pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dari hasil test swab di LGS juga tidak diketahui Pemda Sumbawa.
“Meski berdiri sendiri, tapi apapun kegiatan LGS harus berkoordinasi dengan Satgas Penanganan Covid Kabupaten mengingat keberadaannya menggunakan SK Bupati Sumbawa,” tukasnya.
Fikri juga menyinggung sempat terjadi ledakan Covid di Kabupaten Sumbawa yang dalam sehari pernah mencapai 100-an lebih orang. Hal itu berdasarkan rilis Satgas Covid Provinsi NTB. Setelah ditelusuri, ternyata laboratorium ini menggunakan komulatif day, bukan ready day.
“Hasil swab para pemohon selama beberapa hari diakumulasikan dan dilaporkan secara kolektif, sehingga wajar terjadi ledakan yang sempat membuat heboh. Jika dilaporkan setiap harinya, maka jumlahnya tidak seheboh itu,” tukas Fikri.
Sorotan lainnya terhadap pelayanan LGS. Pihaknya mendapat laporan dari masyarakat, bahwa jika pemohon PCR dari rumah sakit, hasilnya bisa berhari-hari. Namun jika permohonan PCR secara mandiri, hasilnya bisa diperoleh dalam waktu 1×24 jam. “Ini yang harus kami buktikan. Karena ada warga yang mengeluhkan hal itu,” imbuhnya.
Penanggung Jawab Harian LGS, Rian Adha Adinata S.Biotech., M.M.Inov, memberikan klarifikasi. Kepada samawarea.com, Rian—sapaan alumni Biotech UTS ini menegaskan bahwa hasil dari pemeriksaan LGS selalu terinput secara system sehingga bisa terbaca pusat, propinsi maupun kabupaten. Artinya data hasil PCR di LGS bisa diakses dan dipantau kabupaten.
“Ada dua laporan yang kami sampaikan. Pertama, saat hasil keluar langsung disampaikan kepada dokter spesialis yang menangani pasien covid, ini agar cepat mengetahui kondisi pasien dari awal untuk penanganan tindaklanjutnya. Kedua, akumulasi kasusnya di data lalu diinput secara system, sehingga semua bisa terpantau baik oleh kabupaten, propinsi maupun pusat,” jelas Rian. Baca Juga Parpol Siap Laksanakan Kampanye Damai
Sebelum ada Lab di Bima yang menangani rumah sakit di Bima, Kota Bima dan Dompu, semua sampel ditangani LGS. Dalam sehari pihaknya menerima ratusan sampel dari seluruh rumah sakit di Pulau Sumbawa. Tentu saja pihaknya kewalahan, selain SDM yang terbatas juga mesin Lab hanya satu dengan kapasitas 96 sampel setiap harinya.
Ketika hasil ujilab invalid, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang dari awal. Hal inilah yang membuat perolehan hasil menjadi alot. Di antaranya data pasien yang tidak singkron. Misalnya sampel itu kodenya atas nama pasien A, tapi di lembaran, pasien atas nama B. Jika tidak dicek secara rigit, ini bisa fatal karena akan terjadi hasil yang tertukar.
“Kami dilema, di satu sisi data yang disampaikan pihak pemohon bermasalah, di sisi lain kami menerima ratusan sampel yang diajukan rumah sakit maupun masyarakat secara mandiri. Kalau kami terus focus di data, maka sampel tidak tertangani, ini juga fatal. Makanya kami kerja secara parallel,” ujarnya.
Dalam pemeriksaan sampel, terang Rian, secara normal dilakukan system antrian dengan pembagian slot, mana yang mengajukan terlebih awal itu yang akan didahulukan. Namun bagi yang bersifat emergency lebih diprioritaskan, meskipun sampelnya baru diajukan.
“Sekarang tidak banyak seperti sebelumnya, karena di Bima sudah ada lab yang melakukan pemeriksaan PCR untuk menangani rumah sakit di Bima, Kota Bima dan Dompu. Kami di LGS hanya menangani rumah sakit di Sumbawa dan Sumbawa Barat,” ujarnya.
Sementara Penanggung Jawab Utama LGS, Dr. Arif Budi Witarto, mengatakan bahwa keberadaan LGS tidak lain untuk membantu masyarakat dan pemerintah. Dari sisi keuntungan materi yang didapat, nyaris tidak ada. Semua itu dilakukan semata memberikan kemudahan kepada masyarakat terutama pasien di rumah sakit.
Dijelaskan Doktor Arif, sebelumnya laboratorium pemeriksaan PCR berada di Sumbawa Techno Park (STP). Ini atas inisiatifnya. Sebenarnya STP itu agribisnis, yang saat itu ia mengusulkan pengadaan mesin PCR untuk virus udang mengingat banyaknya tambak udang di Sumbawa. Ketika muncul covid, dan pemeriksaan sampel dilakukan di Mataram dengan perolehan hasil yang cukup lama, Doktor Arif mengusulkan bahwa mesin PCR untuk virus udang bisa digunakan untuk Covid.
Usulannya mendapat banyak penolakan, tidak hanya Rektor UTS sendiri, tapi juga Dikes Kabupaten Sumbawa. Karena STP berada di bawah Bappeda Sumbawa, pihaknya mendapat dukungan. Bappeda meminta agar usulannya dilanjutkan. Bukan hanya Bappeda Sumbawa, propinsi juga memberikan dukungan.
Akhirnya pusat menebitkan izin karena menganggap pemeriksaan PCR di Sumbawa adalah kebutuhan mendesak. Setelah setahun lebih pemeriksaan PCR di STP berjalan, masa jabatan Doktor Arif sebagai Direktur STP berakhir dan diganti. Seiring dengan pergantiannya, STP tidak lagi menerima pelayanan pemeriksaan PCR. Baca Juga Tes CPNS di Sumbawa, Hanya 2 Formasi Tidak Terisi
Karenanya ia berkonsultasi dengan Bappeda dan sempat bertemu dengan Drs. H. Mahmud Abdullah yang kala itu masih sebagai Bupati Sumbawa terpilih. Bupati pun memintanya untuk meneruskan pemeriksaan PCR, meski tidak lagi di STP. Selanjutnya Ia mengurus segala sesuatu ke propinsi dan kementerian Kesehatan untuk lepas dari STP.
Setelah mendapat perpanjangan izin, lahirlah Laboratorium Genetika Sumbawa (LGS). Pemda Sumbawa memberikan dukungan berupa laboratorium yang berada di wilayah Kecamatan Badas. “Bangunannya kami renovasi, semua fasilitas yang ada seperti listrik dan lainnya kami biayai sendiri. Niat kita tidak lain untuk membantu masyarakat,” ujarnya.
Dalam pelayanan dan pemeriksaan PCR, pihaknya membuat perjanjian kerjasama dengan propinsi (PKS). Dalam PKS ini, semua pemeriksaan rujukan dari rumah sakit, itu tidak dipungut biaya alias gratis. “Sampel yang dikirim rumah sakit ke LGS wajib ditangani, dan kita tidak boleh menerima bayaran apapun,” kata Doktor Arif.
Sebenarnya juga dalam PKS itu, propinsi memberikan insentif kepada tenaga lab. Tahun lalu saat masih di STP, insentif itu memang ada tapi dirapel. Hanya Kadikes Propinsi sudah mengatakannya bahwa insentif tidak mesti ada, dan jumlahlah tidak dipatok. “Berapapun yang kami terima saat itu kami syukuri, tak ada pun tidak jadi masalah,” imbuhnya.
Memang kenyataannya, lanjut Doktor Arif, tahun ini tidak dibayar. Karena itu, pemeriksaan rujukan dari rumah sakit yang dilakukan secara gratis sebagaimana isi PKS, terpaksa dibiayai LGS. Mulai dari SDM nya hingga pembelian bahan habis pakai seperti reagen. Tidak ada bantuan dari kabupaten, propinsi maupun pusat.
Mengenai adanya pemasukan dari pemeriksaan PCR secara mandiri, itu menjadi satu-satunya sumber yang diarahkan untuk pembelian bahan lab dan lainnya. Kendati, tidak mencukupi.
“Sebelumnya biaya pemeriksaan PCR mandiri 900 ribu per orang. Kalau dihitung keuntungan materi, ya tidak ada. Karena semua bahan dan lainnya kami biayai sendiri, tidak ada bantuan pemerintah. Apalagi sekarang biaya pemeriksaan sudah diturunkan dari 900 ribu menjadi 525 ribu. Sementara harga reagent tidak masih tetap seperti harga semula. Untuk per orang harga bahan yang kami keluarkan mencapai hampir 500 ribu. Belum lainnya. Kami sempat ditanya oleh Dirut RSMA, nanti LGS dapat untungnya apa ? kami jawab kalau secara materi tidak ada untungnya,” kata Doktor Arif.
Tenaga lab yang ada di LGS, sebutnya, merupakan anak didiknya saat di Fakultas Bioteknologi UTS dan sempat menjuarai kompetisi IGEM di Boston Amerika Serikat. Dengan keberadaan LGS dan pemeriksaan PCR, keuntungan yang mereka peroleh tidak bisa diukur secara materi karena memang tidak ada.
“Keuntungan bagi mereka, adalah agar mereka bisa mengimplementasikan keahliannya dan bisa bekerja di bidangnya. Sehingga apa yang mereka lakukan bisa didedikasikan untuk masyarakat. Inilah keuntungan bagi kami, tetap memberikan manfaat bagi sesame,” pungkasnya. (SR)
Adblock test (Why?)
Komentar
Posting Komentar