Merger Beberapa OPD?, Itu Bagus

ProSumbawa Oleh: Heri Kurniawansyah HS (Dosen Fisipol UNSA & Founder Critical Policy Society) Pembentukan berbagai institusi baru pemerintah telah menjadi trend pemerintah saat ini, baik pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah sekalipun. Seolah-olah langkah tersebut menjadi langkah inovatif dalam membangun kinerja teknokratiknya, padahal jika dikaji secara teoritik, sesungguhnya langkah tersebut merupakan langkah yang sangat kontradiktif dengan semangat reformasi birokrasi itu sendiri (Kurniawansyah, 2019). Sejalan dengan hal tersebut, di Kabupaten Sumbawa telah memunculkan wacana perubahan kedua atas Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Sumbawa melalui rapat paripurna legistatif untuk menentukan beberapa OPD yang akan di-merger, perubahan nomenklatur OPD, serta munculnya wacana pembentukan OPD melalui nomenklatur baru sesuai kebutuhan publik. Dalam analisa penulis, perihal tersebut merupakan langkah yang cukup bagus untuk mengurangi berbagai patologi birokrasi, apalagi jika isu tersebut dikaitkan dengan pembangunan daerah dan kebijakan anggaran daerah. Bagaimana analisisnya, berikut penulis uraikan dari beberapa indikator dan sudut pandang teoritik maupun teknokratik Mengapa Perlu Merger? Ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan penting mengapa suatu organisasi pemerintah itu perlu digabung (merger) selagi memiliki unsur dan relevansi yang sama dengan institusi lainnya, baik secara teoritis (konseptual) maupun secara teknokratik. Secara teoritis akan mendasarkan deskripsinya pada pendekatan konsep, sementara secara teknokratik lebih kepada pendekatan kebijakan dan anggaran. Sebelum mengurai urgensi penyatuan beberapa institusi pemerintah, sangat penting kiranya mengurai kontradiksi pemisahan institusi pemerintah dalam satu fungsi birokrasi, agar terjadi penguatan rasionalitas betapa pentingnya penyatuan institusi atau OPD itu sendiri. a. Kajian Konsep (Teoritis) Dalam tataran konsep, pemisahan institusi yang memiliki fungsi yang relevan cenderung akan membentuk polarisasi patologi birokrasi (Kurniawansyah, 2019). Faktanya, ternyata pemerintah telah terjebak pada organisasi bertujuan tunggal (one purpose organization), yaitu sebuah konsep yang mengajarkan bahwa untuk tujuan dan fungsi tertentu seharusnya dibentuk organisasi tertentu pula. Semakin banyak masalah publik, semakin banyak lembaga yang dibentuk. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa ketika ada satu masalah baru, pemerintah cenderung membentuk lembaga baru tanpa menata kembali lembaga yang ada. Situasi ini akan menjadikan praktek birokrasi justru semakin rumit dan mahal, serta akan membentuk ego sektoral yang kuat, padahal misi reformasi birokrasi itu sendiri ingin memerangi hal tersebut. Selain itu, fenomena ini akan membuat setiap lembaga merasa memiliki wewenang dalam menyelesaikan satu masalah, inilah yang disebut dengan fragmentasi wewenang. Bayangkan, pada urusan tertentu, untuk penyelenggaraan satu urusan, harus ada beberapa instansi yang terlibat dan berebut wewenang. Gambaran tersebut menunjukan bahwa di negeri ini tidak ada satu fungsi pemerintah yang kewenangannya ada di tangan satu satuan birokrasi. Akibatnya keborosan melakukan kordinasi menjadi tak terhindarkan (Dwiyanto, 2004). Tidak hanya kordinasi yang dilakukan, namun juga pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program tersebut juga harus dilakukan, akibatnya biaya transaksi dalam pelaksanaan fungsi pemerintah menjadi sangat mahal dan boros. Selain itu, sumber daya menjadi tidak bisa dimanfaatkan secara optimal, karena adanya keterbatasan wewenang yang ada pada diri mereka yang terbagi ke lembaga-lembaga lain, pada saat yang sama fragmentasi akan membentuk mentalitas sektoral (ego sektoral) yang merasa dirinya paling berhak dalam menyelesaikan suatu masalah. Situasi tersebut akan menyebabkan konflik antar lembaga menjadi tak terbendung. Pada akhirnya polarisasi ini akan menyebabkan sulitnya terjadi integrated governance dalam sektor publik. Oleh karena itu, sebagai langkah konkrit menghindari berbagai patologi tersebut, maka sangat penting pemerintah mengambil langkah yang cukup anti mainstream, yaitu menyatukan beberapa OPD dalam satu domain aspek, seperti rencana perubahan kedua Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah di Kabupaten Sumbawa, yang salah satu narasi tehnisnya adalah rencana penyatuan Dinas Pangan dan Dinas Pertanian dengan perubahan nomenklatur menjadi Dinas Pangan dan Pertanian, serta beberapa institusi lainnya yang direncanakan dengan isu penyatuan institusi. Penulis memandang bahwa dua institusi ini memiliki relevansi dan domain yang hampir sama, yaitu sama-sama menjangkau dan mengurus masalah pangan, dimana input dasarnya adalah bidang pertanian itu sendiri. b. Kajian Teknokratik Sementara jika fenomena ini dipandang dari aspek teknokratik, maka kinerja, kompetisi, kebijakan anggaran, dan pembangunan akan diuntungkan dalam periode jangka panjangnya. Mengapa demikian?, dalam aspek ini, penjelasannya tidak akan lepas dari formasi APBD yang dimiliki oleh Kabupaten Sumbawa itu sendiri. Bidikannya dimulai dari pemisahan jumlah Belanja Pegawai (Belanja Tidak Langsung) dengan Belanja Pembangunan (Belanja Langsung). Urusan institusi/birokrasi itu berada pada domain “Belanja Pegawai” yang amat besar, yaitu 65% dari total APBD, sementara sisanya adalah 35 % untuk belanja pembangunan. Belanja Pembangunan dengan total 35% dari APBD itu terbilang sangat minim untuk mendorong pembangunan daerah sebesar Kabupaten Sumbawa ini, sehingga langkah konkrit yang bisa dilakukan untuk menambah belanja pembangunan adalah menekan belanja pegawai terhadap aspek-aspek di dalamnya yang agar terjadi penghematan, sehingga kehematan itu secara otomatis akan masuk dan bertambah pada aspek belanja pembangunan. Nah, konsep penyatuan institusi atau OPD yang ada tersebut merupakan salah satu langkah konkrit penghematan anggaran pada belanja pegawai atau belanja tidak langsung dalam jangka panjang. Dengan terjadinya penghematan tersebut, maka beban APBD untuk belanja pegawai menjadi berkurang, maka secara otomatis akan menguntungkan belanja pembangunan. Dari proses inilah akan lahir cikal bakal pembangunan itu sendiri, sebab input anggarannya telah bertambah di formasi belanja pembangunan. Konsep teknokratik inilah yang seharusnya dijadikan main policy dalam menciptakan reformasi birokrasi yang ramping dan kaya fungsi. Apa keuntungan lainnya?, bahwa dengan adanya penyatuan institusi secara kelembagaan, akan menyebabkan terjadinya de-strukturisasi birokrasi atau perampingan birokrasi. Dengan demikian fenomena ini akan menguatkan sebuah kompetensi kinerja dalam satu institusi dimana resources yang ada akan berfungsi secara optimal tanpa ada lagi pemandangan ASN yang cenderung tidak memiliki pekerjaan dalam satu institusi. Pada akhirnya institusi tersebut menjadi kaya fungsi, dengan demikian seluruh perangkat yang ada akan memaksimalkan performnya di dalam institusinya tersebut. Selain itu, aspek pelayanan publik menjadi lebih mudah, biaya birokrasi menjadi lebih murah, dan terfokus pada satu institusi saja, sehingga pemaksimalan pelayanan publik akan tercipta pada jalur ini. Namun demikian, terdapat resistensi terhadap penyatuan institusi pemerintah tersebut dari berbagai pihak atas dasar akan terjadinya pengurangan anggaran dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Bagi penulis ini adalah alasan yang benar-benar nir-analisis dan nir-kajian konferehensif. Mengapa demikian?, karena sesungguhnya penyatuan OPD itu sendiri justru akan menghemat porsi “Belanja Tidak Langsung” dalam jangka panjang, belum lagi kita berbicara keuntungan-keuntungan lain seperti yang penulis rangkum dalam tabel diatas. Jika masalah pengurangan anggaran adalah pertimbangannya, mari kita uji dengan analisis konferehensif berbasis data dan formasi kebijakan anggaran. Jika anggaran pusat melalui Dana Perimbangan dianggap akan berkurang karena terjadinya penyatuan institusi/OPD, maka secara otomatis pula hal tersebut akan mengurangi pengeluaran APBD di formasi Belanja Pegawai (Belanja Tidak Langsung) dalam jangka panjang, sehingga akan terjadi penghematan anggaran dalam jangka panjang pula khususnya dalam rekrutmen ASN dan operasional OPD. Sebaliknya jika dengan tetapnya OPD tersebut terpisah dengan alasan kucuran Dana Perimbangan akan tetap bertambah melalui Dana Alokasi Umum (DAU), maka pengeluaran APBD melalui belanja pegawai (Belanja Tidak Langsung) pun besar. Sehingga kesimpulannya adalah apakah mau terpisah ataupun dilakukan penyatuan OPD, anggaran itu tetap berada pada volume yang sama, sebab semakin sedikit jumlah institusinya semakin sedikit pula belanja pegawai, sebaliknya semakin banyak institusinya semakin banyak pula belanja pegawai, sehingga volumenya menjadi sama. Sementara keuntungan itu akan memihak pada penyatuan OPD dari aspek-aspek lainnya (lihat tabel). Maka ketika alasan terjadinya pengurangan anggaran itu dijadikan sebagai determinan dari berbagai pihak untuk menolak terjadinya penyatuan OPD adalah alasan yang tidak memiliki kaidah ilmiah dan tidak tuntas. Kapan OPD Baru itu Harus Dibentuk? Dalam rancangan peraturan daerah yang sedang digagas tersbut juga menyinggung kemungkinan adanya pembentukan OPD baru. Lalu kapan institusi baru itu harus dibentuk?. Pada prinsipnya urgensi pembentukan institusi pemerintah yang baru atau OPD itu adalah ketika terjadi akumulasi masalah publik yang memiliki unsur kontinyuinitas pada suatu wilayah administratif, maka Pemerintah Daerah memiliki diskresi penuh untuk membentuk suatu institusi baru dengan tujuan untuk memnuntaskan masalah publik yang membudaya tersebut secara kelembagaan di suatu daerah. Artinya adalah bahwa ada aspek urgensi terkait dengan adanya masalah publik yang tidak menjadi bagian dari fungsi institusi manapun yang ada selama ini, sehingga wajar jika institusi baru itu harus dibentuk. Misalnya di DKI Jakarta terdapat Dinas Pemakaman yang mengurusi masalah publik yang berhubungan dengan pemakaman. Mengapa OPD tersebut dibentuk oleh Pemda DKI Jakarta?, karena masalah pemakaman itu merupakan masalah yang sangat urgensi bagi masyarakat di Jakarta. Bayangkan dengan beragam karakteristik, kondisi sosial, ekonomi, dan ragam sosial konflik pada masyarkat metropolitan yang cenderung privat (individulistik), maka urusan orang yang meninggal tentu tidak akan bisa menjadi maksimal jika diserahkan pada aktivitas sosial masyarakat saja. Artinya tingkat urtgensinya memang sangat tinggi dan tidak ada institusi lain yang memiliki fungsi yang relevan untuk menangani masalah tersebut, sehingga pemerintah menganggap ini adalah masalah publik yang membudaya, maka diperlukan satu institusi yang secara khusus menangnani masalah tersbut. Begitu juga dengan dinas-dinas lain yang ada di DKI Jakarta, seperti Dinas Pertamanan, dan seterusnya. Bayangkan jika Dinas Pemakaman itu dibentuk di Sumbawa, apa urgensi dan apa pekerjaannya di tengah masyarakat Sumbawa yang memiliki tingkat sosial dan kegotongroyongan yang sangat tinggi. Baru diumumkan di masjid jika ada orang yang meninggal, semua masyarakat sekitari akan kut bergotong royong menuntaskan masalah pemakaman di daerah atau wilayahnya. Artinya bahwa masalah pemakaman itu bukan sebuah masalah publik bagi masyarakat yang masih memiliki sifat sosial yang sangat tinggi seperti Sumbawa, sehingga tidak ada urgensinya dibentuk sebuah institusi yang tidak relevan dengan masalah yang dihadapi oleh publik. Contoh tersebut merupakan analogi rasional dan ilmiah kapan seharusnya Pemerintah Daerah akan membentuk institusi baru atau tidak sama sekali. Jika dirasakan munculnya akumulasi masalah publik yang membudaya dan menetap, serta belum ada institusi relevan untuk menangani masalah publik tersebut, maka pembentukan institusi baru itu wajar adanya. Sebaliknya jika suatu masalah publik memiliki relevansi dengan OPD yang sudah ada sebelumnya, maka agenda selanjutnya adalah penguatan OPD yang sudah ada, itu artinya OPD baru tidak perlu dibentuk lagi, sebab hal tersebut secara otomatis akan berhubungan dengan kebijakan anggaran dan kelembagaan birokrasi yang efektif dan efisien. (*) Let's block ads! (Why?)

Komentar